Laman

Powered By Blogger

Jumat, 01 Juni 2012

MATA ASIH TANPA PAMRIH


MATA ASIH TANPA PAMRIH
Oleh :
Ayu Rizqi Yusro, Evi Nurhayati


Ibu bagai pelita yang tak pudar sinarnya. Satu kata yang tidak pernah luput dari kehidupan seorang manusia adalah kata ibu. Awal kehidupan seorang manusia berawal dari ibu dan bahkan hampir semua manusia tak terpisahkan darinya seumur hidup. Mencurahkan seluruh kasih yang ia punya kepada anaknya mulai dari dalam rahim hingga beranjak dewasa. Sebanyak apapun uang yang kita punya takkan cukup untuk membeli jasa-jasanya. Karena kasih ibu seperti udara, memberi tanpa mengharapkan balas jasa.
Arti  Seorang Ibu
I, B dan U. Tiga buah huruf yang terangkai menjadi sebuah kata yang sederhana, “Ibu”. Namun, waktu seumur hidupmu pun tak akan cukup untuk memaknai sebuah kata yang sederhana tersebut. Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir-bibir manusia dan “ibuku” merupakan sebutan terindah. Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.
Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita kita dikala lara, impian kita dalam rengsa, rujukan kita dikala nista. Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. (Kahlil Gibran, 2007) Sungguh luar biasa keberadaan ibu di tengah-tengah kita, tanpa beliau kita bukanlah apa-apa. Pengorbanan tiada tara yang ibu lakukan takkan pernah ada yang bisa membandinginya. Tidak berlebihan jika satu hari dalam satu tahun didedikasikan khusus untuk makhluk mulia ciptaan Yang Maha Kuasa ini.
Sejarah Lahirnya Hari Ibu
Pada umumnya, hampir semua orang di dunia tahu akan adanya peringatan Hari Ibu. Namun, berani bertaruh kurang dari 50% dari mereka yang merayakannya tidak tahu bagaimana awal mula lahirnya Hari Ibu.
Perlu diketahui tak satupun negara di dunia ini yang tidak merayakan hari spesial untuk ibu. Di Amerika dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Hongkong hari ibu ini dirayakan pada hari minggu dipekan kedua dibulan Mei. Dibeberapa Negara Eropa dan Timur Tengah diperingati setiap tanggal 8 Maret dan masih banyak lagi negara-negara di dunia memperingati hari ibu di tanggal yang berbeda. Begitu juga dengan di Indonesia, 22 Desember didaulat sebagai hari ibu.
Alasan mengapa pada tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari ibu di Indonesia karena, Pimpinan Perkumpulan Kaum Perempuan tergugah untuk mempersatukan diri dalam satu kesatuan wadah mandiri saat Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya dilantunkan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Kongres Pemuda Indonesia. Pada saat itu sebagian besar Perkumpulan Perempuan masih merupakan bagian dari organisasi pemuda pejuang pergerakan bangsa. Selanjutnya atas prakarsa para perempuan pejuang pergerakan kemerdekaan pada tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali di Yogyakarta. Salah satu keputusannya adalah dibentuknya satu organisasi bernama Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI).
Melalui PPPI terjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan untuk secara bersama-sama kaum laki-laki berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, dan berjuang bersama-sama kaum perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju.
Pada tahun 1929 PPPI berganti nama menjadi Perserikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII). Pada tahun 1935 diadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut disamping berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia, juga menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai ibu bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.
Pada tahun 1938 Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Tahun 1946 Badan ini menjadi Kongres Wanita Indonesia disingkat KOWANI, yang sampai saat ini terus berkiprah sesuai aspirasi dan tuntutan zaman. Peristiwa besar yang terjadi pada tanggal 22 Desember tersebut kemudian dijadikan tonggak sejarah bagi kesatuan pergerakan perempuan Indonesia.
Selanjutnya, dikukuhkan oleh pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, yang menetapkan bahwa hari ibu tanggal 22 Desember merupakan hari nasional dan bukan hari libur.
Pada Kongres di Bandung tahun 1952 diusulkan dibuat sebuah monumen. Tahun berikutnya dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Balai Srikandi oleh Ibu Sukanto (Ketua Kongres Pertama). Kemudian diresmikan oleh Menteri Maria Ulfah (Menteri Perempuan Pertama yang diangkat tahun 1950) tahun 1956.
Akhirnya pada tahun 1983, Presiden Soeharto meresmikan keseluruhan kompleks monumen itu menjadi Mandala Bhakti Wanitatama di Jl. Laksda Adi Sucipto, Yogyakarta. (Hangga Ady, 18 Desember 2011)
Sebuah sumber lain mengemukakan bahwa sejarah hari ibu bermula dari perayaan musim bunga orang-orang Yunani sebagai penghormatan terhadap Rhea yaitu ibu kepada Tuhan mereka. Pada tahun 1600 orang-orang Inggris merayakan hari yang mereka namakan “Mothering Sunday” yang dirayakan pada hari minggu keempat setiap Lent. Lent adalah tempo masa selama 40 hari samada dalam bulan Februari atau Mac. Dalam tempo ini, sebagian orang-orang kristiani akan berhenti melakukan atau memakan makanan tertentu atas alasan agama. Amalan tersebut adalah sebagai penghormatan mereka terhadap Mother Mary. Mother Mary adalah Maryam, ibu Yesus Kristus.
Amalan dan tradisi ini menular ke seluruh dunia dan kini disambut sebagai penghormatan kepada Mother Church. Mother Church dianggap sebagai kuasa spiritual yang agung yang memberikan kehidupan kepada manusia dan menjaga manusia dari segala marabahaya. Sejak saat itu, perayaan Mothering Sunday telah digabungkan dengan perayaan kegerejaan. Penghormatan mereka terhadap ibu tarafnya sama dengan penghormatan mereka terhadap gereja. Akhirnya tradisi tersebut berkembang hingga ke Indonesia dan selalu diperingati setiap tanggal 22 Desember. (Priscillia Adeline, 22 Desember 2011)
Sekarang kita tahu, awal mula adanya Hari Ibu dan semua orang di berbagai belahan dunia merayakannya dengan waktu dan masing-masing sejarah yang mereka miliki.
Tak lengkap rasanya membahas sejarah Hari Ibu tanpa tahu kalu ada lagu kebesaran Hari Ibu. Inilah sedikit penggalan Hymne Hari Ibu yang mungkin sebagian dari kita belum pernah mendengar sama sekali,
Sekuntum melati, lambang kasih nan suci
Ibu Indonesia, pembina tunas bangsa
Berkorban sadar cita, tercapai dengan giat bekerja
Merdeka laksanakan bhakti pada Ibu Pertiwi

Sekuntum melati, lambang kasih nan suci. Melati yang harum mewangi sepanjang hari sebagai lambang kasih nan suci. Ya, setangkai bunga melati dengan kuntumnya memang identik dengan hari ibu. Secara pasti tidak tahu sejarah mengapa melati dijadikan lambang Hari Ibu. Lambang tersebut digunakan untuk menggambarkan tiga hal:
1.      Kasih sayang kodrati antara ibu dan anak
2.      Kekuatan, kesucian antara ibu dan pengorbanan anak
3.      Kesadaran wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam pembangunan bangsa dan negara. (Hangga Ady, 18 Desember 2011)
Tulusnya Kasih Ibu
Alangkah tulusnya kasih seorang ibu bak kasih seorang malaikat yang senantiasa menjaga, menyayangi, melindungi, merawat malaikat kecilnya tatkala suka maupun duka.
 Tak ada yang lain yang dinantikan oleh seorang wanita pasca-menikah yaitu kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, seberat apapun langkah yang mesti diayun, seberapa lamapun waktu yang harus dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan suatu kepastian dari seorang bidan yakni positif.
Meski berat tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil dalam perutnya.
Seringkali ia bertanya: menangiskah ia ? tertawakah ia ? sedihkah atau bahagiakah ia di dalam sana?
Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika itu matipun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna ketika mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran.
Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar. Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak. Tak satupun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak.
Si kecil baru saja berucap, “Ma..?” segera ia mengangkat telepon mengabarkan ke semua yang ada di daftar telepon. Saat baru pertama berdiri ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan terluka.
Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya  menyaksikan langkah awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.
“Demi anak”, “untuk anak”, menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak belanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuk dirinya sendiri dan berganti mengambil baju untuk anaknya. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil.
Meskipun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi anak. Disaat pusing pikirannya mengatur keuangannya yang serba terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: beli susu anak, uang sekolah anak. Nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa asalkan susu si kecil tetap terbeli.
Takkan dibiarkan si kecil menangis, apapun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar. Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi baby sister yang paling setia. Sesekali ia menjelma  menjadi putri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya.
Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia pun terus mendongeng.
Tak ada yang dilakukannya disetiap pagi sebelum menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta kalimat, “sudah makan belum?” tak lupa terlontar saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu, sekarang sudah menjadi orang dewasa yang bisa saja membeli makan siangnya sendiri di kampus.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya, siapa yang paling menangis? siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? lihatlah sudut matanya, telah menjadi sumber air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan.
Ia menangis  melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar, buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, “masihkah kau anakku?”
Saat senja tiba, ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya akan berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, “bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian. (Roena, 02 Jan 2012)
Pepatah mengatakan, “Seorang ibu bisa mengurus sepuluh orang anak, tapi sepuluh orang anak belum tentu mampu mengurus seorang ibu.” (Aan Sopiyan-Atom, Bandung, 2010) Kasih seorang anak hanya sepersekian dari kasih seorang ibu dan tak mungkin bisa melebihinya. Adalah tidak mudah mengurus sepuluh orang anak tapi, lebih tidak mudah lagi sepuluh orang anak mengurus seorang ibu. Terlalu rumit untuk menjadikannya sebuah kenyataan.
Satu lagi pesan moral dari negeri Cleopatra “Janganlah kamu melihat kecilnya kesalahan, tetapi lihatlah kepada maha besarnya Allah (dzat) yang kamu tentang.” (Az-Zahid, Bilal bin Sa’ad, 2010) Salah satu rajanya dosa adalah durhaka kepada orang tua terlebih kepada ibu. Satu-satunya siksaan yang tidak ditunda atau menunggu penghakiman di akhirat adalah berani menentang kepadanya.
Saking berpengaruhnya keberadaan seorang ibu dalam kehidupan tiap-tiap insan dan begitu besarnya jasa yang ia lakukan tanpa pamrih, tak jarang seniman-seniman mengabadikan ataupun hanya sekadar meluapkan rasa terima kasihnya dalam sebuah sentuhan lembut di atas kanvas, goresan pena pada secarik kertas dan deretan not yang berbaris indah membentuk sebuah melodi yang melemahkan jiwa.

Lukisan wanita mulia ini, mungkin hanya sebagian orang saja yang mampu menggoreskan kuas catnya sedikit demi sedikit di atas kanvas hingga terlukis sempurna seorang wanita yang tak henti-hentinya memberikan kasih sayang pada anak-anaknya ini. Namun jika kita bicara soal puisi, berani bertaruh hampir semua orang mampu menuliskannya dengan sempurna. Memang, mengungkapkan sesuatu hal dalam bentuk tulisan adalah pekerjaan paling mudah. Terlebih jika untuk ibu. Karena tanpa berpikir keras untuk menemukan barisan kata-kata yang indah, kata-kata itu akan mengalir begitu saja dan memenuhi seluruh isi otak kita. Kasih sayang ibu yang tak pernah absen barang sedetik lah alasannya. Hanya memandang wajah ibu, jutaan kata akan memancar deras keluar dari otak dan tertuangkan dalam secarik kertas.
Seperti halnya kutipan syair terjemahan tentang ibu yang dirangkai kata demi katanya oleh seorang remaja dari daratan Timur Tengah berikut,
Bagi ibumu itu punya hak, jika kamu mengerti besar sekali hak itu
Segala balas budimu yang banyak sangat kecil dibandingkan jasa ibumu
Beberapa malam ibumu tidak bisa tidur karena kesakitan berat mengandungmu ia pun mengaduh
Dari rongga mulutnya keluar rintihan dan tangisan terisak-isak
Jika engkau mengerti, dalam melahirkanmu, ibumu sangat berat
Karena sulitnya dalam melahirkan, hati serasa melayang
Betapa seringnya ibumu  membersihkan kotoranmu dengan tangan kanannya
Dan pangkuan ibumu tiada lain menjadi tempat tidurmu
Dan ibumu telah menebusmu dengan segala kesakitan dirinya
Dan dari susu ibumu mengalir minuman segar bagimu
Betapa seringnya ibumu menahan lapar namun tetap memberikan makan kepadamu
Karena rasa kasih sayang dan kekhawatirannya ketika engkau masih kecil
Alangkah hinanya bagi orang yang berakal, sedangkan dia mengikuti hawa nafsunya
Alangkah hinanya bagi orang yang buta hatinya sedangkan matanya melihat
Senangkanlah dirimu yang selalu ada dalam doa ibumu
Sedangkan engkau selalu membutuhkan doa ibumu
(Makalah Cinta Alam Indonesia XXIX, 2008)
Tak hanya syair itu saja yang bisa kita temukan. Syair di atas hanyalah satu dari ribuan bahkan jutaan syair yang telah terangkai. Sedikit memperjelas syair di atas, seorang ibu mempunyai hak sangat besar yang mana hak tersebut takkan pernah bisa dipenuhi oleh seorang anak. Semua kesakitan, kelelahan, kesulitan, kekhawatiran tak pernah membuatnya berhenti menyayangi anaknya karena yang dia inginkan hanyalah kebahagiaan anaknya. Dengan semua perjuangan yang telah ia lakukan, namun sang anak tak pernah membalas meski hanya seberat biji sawi, maka hinalah anak tersebut yang telah durhaka kepada ibunya.
Anda belum bisa dibilang kaya sampai Anda memaliki sesuatu yang tidak dapat dibeli dengan uang. (Natalie Portman, 2010) Jika dihubungkan dengan jasa ibu maka tak satupun ada orang kaya di dunia ini karena tak ada yang mampu membalas jasa ibu seumur hidupnya. Hanya dengan untaian doalah yang mampu membuat hati kita tetap terintegrasi dengan hati ibu meski beliau telah tiada. Ingatlah, siapapun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang sesantiasa merestui dan memberkatinya. Berbahagialah kamu yang masih sempat melihat lengkungan indah di bibir ibumu. Hormatilah ia, senangkanlah ia, bahagiakanlah ia, buat dia bangga denganmu selagi beliau masih bisa merasakan kebanggan karenamu.

PUSTAKA
roena.wordpress.com
Aan Sopiyan-Atom.wordpress.com
Eramuslim.com
Imaduddin, Syifaen . 2008 . Makalah Cinta Alam Indonesia XXIX . Jombang : Ponpes Gading Mangu
Gibran, Kahlil . 2002 . Sang Nabi . Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar