Laman

Powered By Blogger

Jumat, 01 Juni 2012

kasih ibu

KASIH IBU SEPANJANG MASA
Oleh :
Agung Darmanto, Suasana Hari Lukito


 Jasa Bagi Seorang Ibu
Jasa seorang ibu memang begitu besar bagi anak-anaknya. Maka, tak heran jika setiap tanggal 22 Desember selalu diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia. Inilah bentuk penghargaan bagi kaum ibu di Tanah Air. Namun, peringatan Hari Ibu saat ini ternyata telah melenceng dari sejarahnya sendiri. Setidaknya, begitulah pendapat seorang ahli sejarah dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr Phil Ichwan Azhari. "Hari Ibu itu ditetapkan berkaitan dengan politik. Karena awalnya dari sebuah gerakan perempuan. Tapi, interpretasi kita saat ini dalam memperingati Hari Ibu sudah meleset, menjadi harinya mamak-mamak (ibu-ibu)," ungkap Phil Ichwan Azhari kepada okezone di Medan, Rabu (22/12/2010). Disampaikan sejarawan yang menamatkan S3-nya di Jerman ini, penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu berawal dari pelaksanaan Kongres Perempuan yang pertama pada tanggal 22-25 Desember 1928.  Kongres yang digelar di Yogyakarta itu dilaksanakan beberapa bulan setelah dicetuskannya Sumpah Pemuda. Saat itu, sebanyak 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera ikut dalam pertemuan yang kemudian dikenal dengan nama Kongres Wanita Indonesia (Kowani) itu. Para perempuan ini sendiri berkumpul dalam rangka mempersatukan organisasi-organisasi perempuan ke dalam satu wadah demi mencapai kesatuan gerak perjuangan untuk kemajuan wanita bersama dengan pria dalam mewujudkan Indonesia merdeka. Menurut Ichwan, organisasi perempuan di Indonesia sendiri sudah bermula sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19. Bahkan, sebelum Kowani pertama kali dilaksanakan, pergerakan perempuan di Sumatera juga sudah tumbuh. Saat itu, sebuah organisasi perempuan mendirikan surat kabar 'Perempoean Bergerak' di Sumatera Utara pada 1919. "Oleh karena itu, peringatan Hari Kartini juga tidak perlu, karena dia hanya pahlawan lokal. Sebelum Kartini pun sudah ada gerakan perempuan di Medan yang lebih maju. Buktinya, mereka bisa mendirikan sebuah surat kabar," tutur dosen yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Sejarah Unimed ini. Kembali kepada peringatan Hari Ibu yang dilakukan zaman sekarang, Ichwan menilai peringatan tersebut tidak lagi tepat jika dikaitkan dengan sejarah. Karena, maksudnya tidak lagi diperingati sebagai hari gerakan perempuan. Bahkan, peringatan Hari Ibu saat ini bisa mengkerdilkan gerakan permpuan zaman dulu.
          Meski begitu, Ichwan tidak menolak adanya peringatan Hari Ibu. Hanya saja, dia mengusulkan agar dicari tanggal lain selain tanggal 22 Desember. Seperti di luar negeri, juga diperingati Mother's Day, yakni setiap hari Minggu di pekan ke dua bulan Mei yang diperingati di Amerika dan beberapa negara lainnya, serta setiap tanggal 8 Maret yang diperingati di sejumlah negara Eropa. "Peringatan Hari Ibu boleh, untuk menghargai jasa seorang ibu. Saya setuju, tapi jangan menghilangkan nuansa gerakan dari perjuangan perempuan. Karena sudah menggelapkan sejarah, itu saya yang nggak setuju," tegasnya. Sementara itu, peringatan Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember sendiri telah ditetapkan oleh mantan Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959 pada tanggal 16 Desember 1959. Oleh karena itu, Hari Ibu ini selalu diperingati secara nasional di seluruh Nusantara setiap tahunnya. Sebelumnya, penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu juga telah dicetuskan pada Kowani ke-3 yang diadakan di Bandung pada 22 Desember 1938. Penetapan tanggal ini bertujuan untuk menjaga semangat kebangkitan perempuan Indonesia secara terorganisasi dan bergerak sejajar dengan kaum pria.
Sejarah Hari Ibu
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung Dalem Jayadipuran[6] yang sekarang berfungsi sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional dan beralamatkan di Jl. Brigjen Katamso. Kongres dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia(Kowani).
Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Tjoet Nyak Meutia, R.A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan lain-lain.
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938.[7] Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate. Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini. Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung. Satu momen penting bagi para wanita adalah untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1946. Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa. Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji keibuan para ibu. Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, pesta kejutan bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari.
Gema  Sumpah  Pemuda  dan  lantunan  lagu  Indonesia Raya  yang pada tanggal 28 Oktober 1928 digelorakan dalamKongres  Pemuda  Indonesia,  menggugah  semangat  para pimpinan  perkumpulan  kaum  perempuan  untuk  mempersatukan  diri dalam satu  kesatuan wadah mandiri.  Pada  saat itu sebagian besar perkumpulan masih merupakan bagian dari organisasi pemuda pejuang pergerakan bangsa. Selanjutnya, atas  prakarsa  para  perempuan  pejuang pergerakan kemerdekaan pada  tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan  Indonesia  yang pertama kali  di  Yogyakarta.  Salah  satu  keputusannya  adalah  di bentuknya satu  organisasi  federasi  yang  mandiri  dengan nama  Perikatan  Perkoempoelan  Perempoean  Indonesia (PPPI). Melalui PPPI tersebut terjalin kesatuan semangat  juang kaum perempuan untuk  secara bersama-sama kaum Laki-laki berjuang  meningkatkan  harkat  dan  martabat bangsa Indonesia  menjadi  bangsa  yang  merdeka, dan  berjuang bersama-sama  kaum  perempuan  untuk meningkatkan  harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju. Pada  tahun  1929  Perikatan  Perkoempoelan  Perempuan Indonesia  (PPPI)  berganti  nama  menjadi  Perikatan Perkoempoelan  Istri  Indonesia  (PPII). Pada  tahun  1935 diadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut  disamping  berhasil membentuk  Badan  Kongres Perempuan  Indonesia,  juga  menetapkan  fungsi  utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan  dan  mendidik  generasi  baru  yang  lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya. Pada  tahun  1938  Kongres  Perempuan  Indonesia  III di Bandung  menyatakan  bahwa  tanggal 22  Desember  sebagai Hari Ibu.  Selanjutnya, dikukuhkan  oleh  Pemerintah  dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959,yang  menetapkan  bahwa  Hari Ibu  tanggal  22  Desember merupakan  hari  nasional  dan  bukan  hari libur.  Tahun  1946 Badan  ini menjadi  Kongres  Wanita  Indonesia  di  singkat KOWANI, yang sampai saat  ini terus berkiprah sesuai aspirasi dan  tuntutan  zaman. Peristiwa  besar  yang  terjadi  pada tanggal  22  Desember  tersebut  kemudian  dijadikan  tonggak sejarah bagi Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia.
Hari Ibu  oleh bangsa  Indonesia  diperingati  tidak  hanya  untuk menghargai jasa-jasa perempuan  sebagai seorang ibu, tetapi juga  jasa  perempuan  secara  menyeluruh, baik sebagai ibu dan istri  maupun  sebagai  warga  negara,  warga  masyarakat dan sebagai abdi Tuhan Yang Maha Esa, serta sebagai pejuang dalam merebut,  menegakan  dan  mengisi  kemerdekaan dengan pembangunan nasional. Peringatan  Hari Ibu  dimaksudkan  untuk  senantiasa mengingatkan  seluruh  rakyat  Indonesia  terutama  generasi muda,  akan  makna  Hari Ibu  sebagai  Hari kebangkitan dan persatuan  serta kesatuan  perjuangan  kaum perempuan  yang tidak terpisahkan dari kebangkitan perjuangan bangsa. Untuk itu  perlu  diwarisi  api  semangat  juang  guna  senantiasa mempertebal  tekad  untuk melanjutkan  perjuangan  nasional menuju  terwujudnya  masyarakat  yang  adil dan  makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Semangat  perjuangan  kaum  perempuan  Indonesia tersebut  sebagaimana tercermin dalam lambang Hari Ibu berupa setangkai  bunga melati dengan kuntumnya,  yang menggambarkan:
1. kasih sayang kodrati antara ibu dan anak;
2. kekuatan, kesucian antara ibu dan pengorbanan anak;
3. kesadaran  wanita  untuk  menggalang  kesatuan  dan persatuan,  keikhlasan bakti  dalam pembangunan bangsa dan negara. Semboyan pada  lambang  Hari Ibu  Merdeka Melaksanakan  Dharma mengandung  arti  bahwa  tercapainya persamaan  kedudukan,  hak,  kewajiban  dan  kesempatan antara  kaum  perempuan  dan  kaum  laki-laki  merupakan kemitrasejajaran  yang  perlu  diwujudkan  dalam kehidupan berkeluarga,  bermasyarakat,  berbangsa  dan  bernegara  demi keutuhan, kemajuan dan kedamaian bangsa Indonesia.

Makna Hari Ibu
Peringatan Hari Ibu di Indonesia telah digalakkan semenjak puluhan tahun silam. Tepatnya semenjak Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, yakni melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Hal ini mengindikasikan bahwa peringatan Hari Ibu tidak menuai masalah. Lantas pertanyaan yang kemudian muncul, apakah indikasi tersebut dapat dibenarkan?
Tengoklah, Ibu Ani Yu­dho­­­yono pernah berbicara saat membuka acara Seminar Pe­rempuan ASEAN tentang Ke­wirausahaan Ramah Ling­ku­ngan di Bali, rabu (16/11). Ani Yudhoyono mengatakan, mak­na Hari Ibu terbilang ber­tolak belakang dengan Mother’s Day. Ani menambahkan, Hari Ibu di Indonesia digunakan un­tuk memperingati Kongres Per­tama Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember di Yog­ya­karta. Sementara Mother’s Day lebih ditekankan untuk meng­­hargai peran ibu.
Sungguh perbandingan yang ter­lihat jelas berbeda. Jika kita te­lusuri bersama, ternyata per­nya­taan Ibu Ani Yudhoyono di atas ada benarnya. Bayangkan, ba­gaimana tidak peringatan Ha­ri Ibu di Indonesia terpolusi oleh Mother’s Day, jikalau mo­men­­tum peringatan tersebut hanya untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih ke­pada para ibu. Berbagai ke­gia­tan dalam peringatan itu pun hanya di­alo­ka­sikan sebagai sur­prise party bagi para ibu, ane­ka lomba memasak, atau pun memberikan kebebasan se­­mentara bagi me­reka dari je­ratan kegiatan do­mes­tik se­ha­ri-hari. Perbedaan Hari Ibu dan Mother’s Day.Salah jika seseorang men­ya­ma­kan peringatan Hari Ibu yang ada di Indonesia dengan Mother’s Day yang diperingati di banyak negara, terutama Ame­­rika Serikat. Sebab makna Mother’s Day lebih ditekankan untuk memberikan puji-pujian ter­hadap para ibu dan perannya se­bagai seorang yang telah ‘me­­lahirkan dan menyusui’. Ter­­­masuk peran ibu sebagai pe­­­­ngasuh anak, pemberi kasih sa­yang, pegiat segala urusan do­mestik keluarga, serta pen­dam­ping suami.
Timbulnya Mother’s day sen­diri bukan didasari oleh adanya per­juangan perempuan dalam merebut kemerdekaan bang­sa­nya. Akan tetapi Mother’s Day tim­bul karena adanya pe­nga­ruh dari kebiasaan me­muja De­­wi Rhea, istri Dewa Kronus, dan juga ibu para dewa dalam se­jarah Yunani kuno.
Belum cukup dengan itu, per­bedaan yang tidak kalah dho­hir­nya antara Mother’s Day dan Hari Ibu adalah mengenai waktu pen­­yelenggaraan. Jika di In­do­nesia waktu pen­ye­leng­ga­raan Hari Ibu jatuh pada tanggal 22 De­sember, maka di sebagian Ne­gara Eropa dan Timur Tengah, Mother’s Day diperingati pada bu­lan Maret. Sedangkan di ne­ga­ra-negara maju seperti Ame­rika Serikat, Australia, Ka­na­da, Jer­man, Italia, Jepang, Belanda, Ma­laysia, Singapura, Hongkong, dan Taiwan, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu ke­ dua bulan Mei. Mengapa de­­mikian? Sebab pada tanggal ter­sebut, tepatnya tahun 1870, ak­ti­vis sosial Julia Ward Howe te­lah mencanangkan pentingnya pe­rempuan bersatu melawan pe­rang saudara.Hari Ibu di Indonesia
. Dengan adanya peringatan Hari Ibu, setidaknya akan dapat mem­bahagiakan hati para wa­nita yang bergelar ibu. Seperti yang dijelaskan oleh Syeikh Siddiq Al-Minsyawi di dalam kitab­nya Syarhu Al-Arbain An-Nawawiyah. Namun, apakah tujuan mem­pe­ringati Hari Ibu hanya untuk mem­bahagiakan hati para ibu saja? Padahal semestinya pe­ri­ngatan Hari Ibu tidak hanya di­peruntukkan bagi para ibu se­mata, namun juga bagi se­lu­ruh perempuan Indonesia tan­pa terkecuali. Saudara lihat, Kongres Pertama Pe­­rempuan Indonesia (KO­WA­NI) pada 22-25 Desember di Yog­yakarta tidak hanya dihadiri oleh para ibu saja, namun di­ha­­diri oleh segenap perempuan Indonesia.
Hingga kini, peristiwa itu di­ja­­dikan salah satu tonggak pen­­ting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Ka­la itu, para perempuan In­do­­nesia telah sadar dan berani me­mikirkan berbagai isu demi men­dukung kemerdekaan Bang­sa Indonesia. Di antaranya isu mengenai persatuan pe­rem­­puan Nusantara; pelibatan pe­rempuan dalam berbagai as­pek pembangunan bangsa; per­dagangan anak-anak dan kaum perempuan; pelibatan pe­rempuan dalam perjuangan me­lawan kemerdekaan; per­baikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; dan pernikahan usi­a dini bagi perempuan. Maka, dari potret perjuangan para perempuan Indonesia ma­sa lalu itu, tentu kita dapat men­yimpulkan bahwa misi pe­ringatan Hari Ibu seyogyanya lebih untuk mengenang se­manga­t dan perjuangan para pe­rem­puan dalam usaha me­mer­dekaan bangsa ini dari se­gala bentuk belenggu pen­ja­jahan.
Kita juga dapat menjadikan Hari Ibu sebagai momentum yang tepat untuk merenungkan kem­bali apa yang telah di­la­ku­kan oleh para perempuan In­donesia guna kepentingan kaum perempuan Indonesia khu­susnya, dan bangsa ini pada umumnya. Ingat, perjuangan me­ning­kat­kan peran dan kedudukan kaum perempuan itu masih pan­jang. Segala hasil yang telah dicapai saat ini semata-mata hanya lah merupakan langkah awal untuk mencapai Indonesia yang adil dan makmur.
 Sejarah Kowani
Sumpah persatuan dan kesatuan yang diikrarkan dalam Kongres Pemoeda pada tanggal 28 Oktober 1928 membakar semangat pergerakan wanita Indonesia untuk menyelenggarakan Kongres Perempoean Indonesia yang pertama pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Tema pokok Kongres adalah menggalang persatuan dan kesatuan antara organisasi wanita Indonesia yang pada waktu itu masih bergerak sendiri-sendiri. Kongres ini telah berhasil membentuk badan federasi organisasi wanita yang mandiri dengan nama "Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia" disingkat PPPI. Peristiwa besar yang terjadi pada tanggal 22 Desember tersebut kemudian dijadikan tonggak sejarah bagi kesatuan pergerakan wanita Indonesia. PPPI mengalami perubahan nama beberapa kali, pada tahun 1929 menjadi Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII). Kongres PPII tahun 1930 di Surabaya memutuskan bahwa "Kongres berasaskan Kebangsaan Indonesia, menjunjung kewanitaan, meneguhkan imannya" karena itu tujuan pergerakan wanita Indonesia, selain untuk memperjuangkan perbaikan derajat kedudukan wanita, juga memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan serta mengisinya dengan pembangunan bangsa dan negara. Hal itulah yang membedakan perjuangan emansipasi wanita Indonesia dengan emansipasi di luar negeri.
Pada tahun 1935, PPII berganti nama menjadi Kongres Perempoean Indonesia dan ada beberapa keputusan penting yang perlu diperhatikan yaitu:
  1. Bahwa kewajiban utama wanita Indonesia ialah menjadi "IBU BANGSA" yang berarti berusaha menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar akan kebangsaannya.
  2. Agar anggota Kongres mengadakan hubungan yang baik dengan generasi muda, sehingga tercipta saling pengertian dalam rangka keseimbangan antar generasi, oleh karena itu perlu sikap saling menghargai dan tidak menonjolkan diri.
Atas keputusan Kongres Perempoean Indonesia III pada tahun 1938 di Bandung, tanggal 22 Desember diangkat menjadi "Hari Ibu". Keputusan ini kemudian dikukuhkan dengan Keputusan Presiden RI No. 316 tanggal 16 Desember 1959 menjadi Hari Nasional yang bukan hari libur. Pada tahun 1946 menjadi Kongres Wanita Indonesia disingkat KOWANI sampai saat ini.
Peringatan Hari Ibu di Indonesia
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung Dalem Jayadipuran  yang sekarang berfungsi sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional dan beralamatkan di Jl. Brigjen Katamso. Kongres dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Tjoet Nyak Meutia, R.A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan lain-lain. Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perdagangan anak-anak dan kaum perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan gender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938.  Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.  Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini. Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung.
Satu momen penting bagi para wanita adalah untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1946. Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa. Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji keibuan para ibu. Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, pesta kejutan bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari.
Peringatan Hari Ibu di Eropa
Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronos, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara. Setiap negara memiliki waktu yang berbeda dalam memperingati hari ibu, hal tersebut sangat tergantung terhadap latar belakang sejarah masing-masing negara. Khusus di Indonesia, hari Ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember 2011.
 Harapan Kepada Sang Ibu
Harapan kepada sang ibu adalah ingin membahagiakan dan mambagakan sang ibu, karena dengan adanya ibulah kita bisa terlahir di dunia ini sampai sekarang. Banyak sekali pengorbanan seorang ibu untuk anaknya hingga tercipta sepenggal lagu yakni :
KASIH IBU KEPADA BETA
TAK TERHINGGA SEPANJANG MASA
HANYA MEMBERI TAK HARAP KEMBALI
BAGAI SANG SURYA MENYINARI DUNIA
Dari kata-kata di atas, kita bisa mengartikan sendiri bahwa kasih seorang ibu kepada kita melebihi segalanya dan tak terhingga sepanjang masa, sang ibu hanya memberi kita dengan ketulusannya tanpa mengharapkan imbalan apapun dari sang anak yang di andaikan seperti sang surya yang menyinari dunia tanpa pernah berhenti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar