MATA ASIH TANPA PAMRIH
Oleh
:
Ayu
Rizqi Yusro, Evi Nurhayati
Ibu bagai pelita yang tak pudar sinarnya. Satu kata
yang tidak pernah luput dari kehidupan seorang manusia adalah kata ibu. Awal
kehidupan seorang manusia berawal dari ibu dan bahkan hampir semua manusia tak
terpisahkan darinya seumur hidup. Mencurahkan seluruh kasih yang ia punya
kepada anaknya mulai dari dalam rahim hingga beranjak dewasa. Sebanyak apapun
uang yang kita punya takkan cukup untuk membeli jasa-jasanya. Karena kasih ibu
seperti udara, memberi tanpa mengharapkan balas jasa.
Arti Seorang Ibu
I, B dan U. Tiga buah huruf yang terangkai menjadi
sebuah kata yang sederhana, “Ibu”. Namun, waktu seumur hidupmu pun tak akan
cukup untuk memaknai sebuah kata yang sederhana tersebut. Ibu merupakan kata
tersejuk yang dilantunkan oleh bibir-bibir manusia dan “ibuku” merupakan
sebutan terindah. Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang
memancar dari kedalaman jiwa.
Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita kita
dikala lara, impian kita dalam rengsa, rujukan kita dikala nista. Ibu adalah
mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. (Kahlil Gibran, 2007)
Sungguh luar biasa keberadaan ibu di tengah-tengah kita, tanpa beliau kita
bukanlah apa-apa. Pengorbanan tiada tara yang ibu lakukan takkan pernah ada
yang bisa membandinginya. Tidak berlebihan jika satu hari dalam satu tahun
didedikasikan khusus untuk makhluk mulia ciptaan Yang Maha Kuasa ini.
Sejarah Lahirnya Hari
Ibu
Pada umumnya, hampir semua orang di dunia tahu akan
adanya peringatan Hari Ibu. Namun, berani bertaruh kurang dari 50% dari mereka
yang merayakannya tidak tahu bagaimana awal mula lahirnya Hari Ibu.
Perlu diketahui tak satupun negara di dunia ini yang
tidak merayakan hari spesial untuk ibu. Di Amerika dan lebih dari 75 negara
lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia,
Singapura, Taiwan dan Hongkong hari ibu ini dirayakan pada hari minggu dipekan
kedua dibulan Mei. Dibeberapa Negara Eropa dan Timur Tengah diperingati setiap
tanggal 8 Maret dan masih banyak lagi negara-negara di dunia memperingati hari
ibu di tanggal yang berbeda. Begitu juga dengan di Indonesia, 22 Desember
didaulat sebagai hari ibu.
Alasan mengapa pada tanggal 22 Desember diperingati
sebagai hari ibu di Indonesia karena, Pimpinan Perkumpulan Kaum Perempuan
tergugah untuk mempersatukan diri dalam satu kesatuan wadah mandiri saat Sumpah
Pemuda dan lagu Indonesia Raya dilantunkan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam
Kongres Pemuda Indonesia. Pada saat itu sebagian besar Perkumpulan Perempuan
masih merupakan bagian dari organisasi pemuda pejuang pergerakan bangsa.
Selanjutnya atas prakarsa para perempuan pejuang pergerakan kemerdekaan pada
tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia yang
pertama kali di Yogyakarta. Salah satu keputusannya adalah dibentuknya satu
organisasi bernama Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI).
Melalui PPPI terjalin kesatuan semangat juang kaum
perempuan untuk secara bersama-sama kaum laki-laki berjuang meningkatkan harkat
dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, dan berjuang
bersama-sama kaum perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan
Indonesia menjadi perempuan yang maju.
Pada tahun 1929 PPPI berganti nama menjadi
Perserikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII). Pada tahun 1935 diadakan
Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut disamping berhasil
membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia, juga menetapkan fungsi utama
Perempuan Indonesia sebagai ibu bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan
mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.
Pada tahun 1938 Kongres Perempuan Indonesia III di
Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Tahun 1946 Badan
ini menjadi Kongres Wanita Indonesia disingkat KOWANI, yang sampai saat ini
terus berkiprah sesuai aspirasi dan tuntutan zaman. Peristiwa besar yang
terjadi pada tanggal 22 Desember tersebut kemudian dijadikan tonggak sejarah
bagi kesatuan pergerakan perempuan Indonesia.
Selanjutnya, dikukuhkan oleh pemerintah dengan
Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, yang menetapkan bahwa hari ibu tanggal
22 Desember merupakan hari nasional dan bukan hari libur.
Pada Kongres di Bandung tahun 1952 diusulkan dibuat
sebuah monumen. Tahun berikutnya dilakukan peletakan batu pertama pembangunan
Balai Srikandi oleh Ibu Sukanto (Ketua Kongres Pertama). Kemudian diresmikan
oleh Menteri Maria Ulfah (Menteri Perempuan Pertama yang diangkat tahun 1950)
tahun 1956.
Akhirnya pada tahun 1983, Presiden Soeharto
meresmikan keseluruhan kompleks monumen itu menjadi Mandala Bhakti Wanitatama
di Jl. Laksda Adi Sucipto, Yogyakarta. (Hangga Ady, 18 Desember 2011)
Sebuah sumber lain mengemukakan bahwa sejarah hari
ibu bermula dari perayaan musim bunga orang-orang Yunani sebagai penghormatan
terhadap Rhea yaitu ibu kepada Tuhan mereka. Pada tahun 1600 orang-orang
Inggris merayakan hari yang mereka namakan “Mothering Sunday” yang dirayakan
pada hari minggu keempat setiap Lent. Lent adalah tempo masa selama 40 hari
samada dalam bulan Februari atau Mac. Dalam tempo ini, sebagian orang-orang
kristiani akan berhenti melakukan atau memakan makanan tertentu atas alasan
agama. Amalan tersebut adalah sebagai penghormatan mereka terhadap Mother Mary.
Mother Mary adalah Maryam, ibu Yesus Kristus.
Amalan dan tradisi ini menular ke seluruh dunia dan
kini disambut sebagai penghormatan kepada Mother Church. Mother Church dianggap
sebagai kuasa spiritual yang agung yang memberikan kehidupan kepada manusia dan
menjaga manusia dari segala marabahaya. Sejak saat itu, perayaan Mothering
Sunday telah digabungkan dengan perayaan kegerejaan. Penghormatan mereka
terhadap ibu tarafnya sama dengan penghormatan mereka terhadap gereja. Akhirnya
tradisi tersebut berkembang hingga ke Indonesia dan selalu diperingati setiap
tanggal 22 Desember. (Priscillia Adeline, 22 Desember 2011)
Sekarang kita tahu, awal mula adanya Hari Ibu dan
semua orang di berbagai belahan dunia merayakannya dengan waktu dan
masing-masing sejarah yang mereka miliki.
Tak lengkap rasanya membahas sejarah Hari Ibu tanpa
tahu kalu ada lagu kebesaran Hari Ibu. Inilah sedikit penggalan Hymne Hari Ibu
yang mungkin sebagian dari kita belum pernah mendengar sama sekali,
Sekuntum
melati, lambang kasih nan suci
Ibu
Indonesia, pembina tunas bangsa
Berkorban
sadar cita, tercapai dengan giat bekerja
Merdeka
laksanakan bhakti pada Ibu Pertiwi
Sekuntum melati, lambang kasih nan suci. Melati yang
harum mewangi sepanjang hari sebagai lambang kasih nan suci. Ya, setangkai
bunga melati dengan kuntumnya memang identik dengan hari ibu. Secara pasti
tidak tahu sejarah mengapa melati dijadikan lambang Hari Ibu. Lambang tersebut
digunakan untuk menggambarkan tiga hal:
1. Kasih
sayang kodrati antara ibu dan anak
2. Kekuatan,
kesucian antara ibu dan pengorbanan anak
3. Kesadaran
wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam
pembangunan bangsa dan negara. (Hangga Ady, 18 Desember 2011)
Tulusnya Kasih Ibu
Alangkah tulusnya kasih seorang ibu bak kasih
seorang malaikat yang senantiasa menjaga, menyayangi, melindungi, merawat
malaikat kecilnya tatkala suka maupun duka.
Tak ada yang
lain yang dinantikan oleh seorang wanita pasca-menikah yaitu kehamilan.
Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, seberat apapun langkah yang mesti
diayun, seberapa lamapun waktu yang harus dijalani, tak kenal menyerah demi
mendapatkan suatu kepastian dari seorang bidan yakni positif.
Meski berat tak ada yang membuatnya mampu bertahan
hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia
tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil
dalam perutnya.
Seringkali ia bertanya: menangiskah ia ? tertawakah
ia ? sedihkah atau bahagiakah ia di dalam sana?
Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu
menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika itu matipun akan
dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa
sakit pun sirna ketika mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli
darah dan keringat yang terus bercucuran.
Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak. Tak satupun
tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman
sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak.
Si kecil baru saja berucap, “Ma..?” segera ia
mengangkat telepon mengabarkan ke semua yang ada di daftar telepon. Saat baru
pertama berdiri ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit
takut si kecil terjatuh dan terluka.
Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali
matanya menyaksikan langkah awal
kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan
bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar
langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.
“Demi anak”, “untuk anak”, menjadi alasan utama
ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di
pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan. Ia
selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya,
setiap kali hendak belanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju
untuk dirinya sendiri dan berganti mengambil baju untuk anaknya. Padahal, baru
kemarin sore ia membeli baju si kecil.
Meskipun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi
atas satu alasan, demi anak. Disaat pusing pikirannya mengatur keuangannya yang
serba terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: beli susu
anak, uang sekolah anak. Nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi
jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya bahkan, tak ada
beras di rumah pun tak mengapa asalkan susu si kecil tetap terbeli.
Takkan dibiarkan si kecil menangis, apapun akan
dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar. Ia menjadi guru yang
tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan
yang sering terlupa dihargai, dan menjadi baby sister yang paling setia. Sesekali
ia menjelma menjadi putri salju yang
bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi
kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu.
Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat
mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan
jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen
didongengkannya.
Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus
menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek
sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik.
Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke
sekian. Dalam kantuknya, ia pun terus mendongeng.
Tak ada yang dilakukannya disetiap pagi sebelum
menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang
paling ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta
kalimat, “sudah makan belum?” tak lupa terlontar saat baru saja memasuki rumah.
Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu,
sekarang sudah menjadi orang dewasa yang bisa saja membeli makan siangnya
sendiri di kampus.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu
mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup
bersama pasangannya, siapa yang paling menangis? siapa yang lebih dulu menitikkan
air mata? lihatlah sudut matanya, telah menjadi sumber air mata dalam sekejap.
Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan.
Ia menangis
melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu,
ia pun sadar, buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya
itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam
harapnya ia berlirih, “masihkah kau anakku?”
Saat senja tiba, ketika keriput di tangan dan wajah
mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya akan
berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, “bila ibu
meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil
dipangku kalian. (Roena, 02 Jan 2012)
Pepatah mengatakan, “Seorang ibu bisa mengurus
sepuluh orang anak, tapi sepuluh orang anak belum tentu mampu mengurus seorang
ibu.” (Aan Sopiyan-Atom, Bandung, 2010) Kasih seorang anak hanya sepersekian
dari kasih seorang ibu dan tak mungkin bisa melebihinya. Adalah tidak mudah
mengurus sepuluh orang anak tapi, lebih tidak mudah lagi sepuluh orang anak
mengurus seorang ibu. Terlalu rumit untuk menjadikannya sebuah kenyataan.
Satu
lagi pesan moral dari negeri Cleopatra “Janganlah kamu melihat kecilnya
kesalahan, tetapi lihatlah kepada maha besarnya Allah (dzat) yang kamu tentang.”
(Az-Zahid, Bilal bin Sa’ad, 2010) Salah satu rajanya dosa adalah durhaka kepada
orang tua terlebih kepada ibu. Satu-satunya siksaan yang tidak ditunda atau
menunggu penghakiman di akhirat adalah berani menentang kepadanya.
Saking berpengaruhnya keberadaan seorang ibu dalam
kehidupan tiap-tiap insan dan begitu besarnya jasa yang ia lakukan tanpa
pamrih, tak jarang seniman-seniman mengabadikan ataupun hanya sekadar meluapkan
rasa terima kasihnya dalam sebuah sentuhan lembut di atas kanvas, goresan pena
pada secarik kertas dan deretan not yang berbaris indah membentuk sebuah melodi
yang melemahkan jiwa.
Lukisan wanita mulia ini, mungkin hanya sebagian
orang saja yang mampu menggoreskan kuas catnya sedikit demi sedikit di atas
kanvas hingga terlukis sempurna seorang wanita yang tak henti-hentinya
memberikan kasih sayang pada anak-anaknya ini. Namun jika kita bicara soal
puisi, berani bertaruh hampir semua orang mampu menuliskannya dengan sempurna.
Memang, mengungkapkan sesuatu hal dalam bentuk tulisan adalah pekerjaan paling
mudah. Terlebih jika untuk ibu. Karena tanpa berpikir keras untuk menemukan
barisan kata-kata yang indah, kata-kata itu akan mengalir begitu saja dan
memenuhi seluruh isi otak kita. Kasih sayang ibu yang tak pernah absen barang sedetik
lah alasannya. Hanya memandang wajah ibu, jutaan kata akan memancar deras
keluar dari otak dan tertuangkan dalam secarik kertas.
Seperti halnya kutipan syair terjemahan tentang ibu
yang dirangkai kata demi katanya oleh seorang remaja dari daratan Timur Tengah
berikut,
Bagi
ibumu itu punya hak, jika kamu mengerti besar sekali hak itu
Segala
balas budimu yang banyak sangat kecil dibandingkan jasa ibumu
Beberapa
malam ibumu tidak bisa tidur karena kesakitan berat mengandungmu ia pun
mengaduh
Dari
rongga mulutnya keluar rintihan dan tangisan terisak-isak
Jika
engkau mengerti, dalam melahirkanmu, ibumu sangat berat
Karena
sulitnya dalam melahirkan, hati serasa melayang
Betapa
seringnya ibumu membersihkan kotoranmu
dengan tangan kanannya
Dan
pangkuan ibumu tiada lain menjadi tempat tidurmu
Dan
ibumu telah menebusmu dengan segala kesakitan dirinya
Dan
dari susu ibumu mengalir minuman segar bagimu
Betapa
seringnya ibumu menahan lapar namun tetap memberikan makan kepadamu
Karena
rasa kasih sayang dan kekhawatirannya ketika engkau masih kecil
Alangkah
hinanya bagi orang yang berakal, sedangkan dia mengikuti hawa nafsunya
Alangkah
hinanya bagi orang yang buta hatinya sedangkan matanya melihat
Senangkanlah
dirimu yang selalu ada dalam doa ibumu
Sedangkan
engkau selalu membutuhkan doa ibumu
(Makalah
Cinta Alam Indonesia XXIX, 2008)
Tak hanya syair itu saja yang bisa kita temukan.
Syair di atas hanyalah satu dari ribuan bahkan jutaan syair yang telah
terangkai. Sedikit memperjelas syair di atas, seorang ibu mempunyai hak sangat
besar yang mana hak tersebut takkan pernah bisa dipenuhi oleh seorang anak.
Semua kesakitan, kelelahan, kesulitan, kekhawatiran tak pernah membuatnya
berhenti menyayangi anaknya karena yang dia inginkan hanyalah kebahagiaan
anaknya. Dengan semua perjuangan yang telah ia lakukan, namun sang anak tak
pernah membalas meski hanya seberat biji sawi, maka hinalah anak tersebut yang
telah durhaka kepada ibunya.
Anda belum bisa dibilang kaya sampai Anda memaliki
sesuatu yang tidak dapat dibeli dengan uang. (Natalie Portman, 2010) Jika
dihubungkan dengan jasa ibu maka tak satupun ada orang kaya di dunia ini karena
tak ada yang mampu membalas jasa ibu seumur hidupnya. Hanya dengan untaian
doalah yang mampu membuat hati kita tetap terintegrasi dengan hati ibu meski
beliau telah tiada. Ingatlah, siapapun yang kehilangan ibunya, ia akan
kehilangan sehelai jiwa suci yang sesantiasa merestui dan memberkatinya.
Berbahagialah kamu yang masih sempat melihat lengkungan indah di bibir ibumu.
Hormatilah ia, senangkanlah ia, bahagiakanlah ia, buat dia bangga denganmu
selagi beliau masih bisa merasakan kebanggan karenamu.
PUSTAKA
http://www.hanggaady.com/Semoga Bermanfaat
roena.wordpress.com
Aan Sopiyan-Atom.wordpress.com
Eramuslim.com
Imaduddin,
Syifaen . 2008 . Makalah Cinta Alam
Indonesia XXIX . Jombang : Ponpes Gading Mangu
Gibran, Kahlil .
2002 . Sang Nabi . Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar