BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Bab
ini mengupas langka permulaan dari proses pengembangan instruksional, yaitu
mengidentifikasi kebutuhan instruksional dan penulisan tujuan instruksional umum
(TIU).
Langka
ini adalah titik tolak dan sumber bagi langkah-langkah berikutnya. Karena itu,
kebingungan yang terjadi dalam langka permulaan ini akan menyebabkan seluruh
kegiatan pengembangan instruksional kehilangan arah. Langkah ini merupakan rangkaian
dari dua kegiatan yang dijadikan satu karena keduanya sangat berkaitan. Hasil
kegiatan pertama yaitu mengidentifikasi
kebutuhan instrusional. Tidak lain daftar pengetahuan, keteraampilan dan sikap
yang masih belum dikuasai siswa dan perlu dikuasai siswa. Atas dasar hasil
kegiatan pertama ini dilakukan langkah yang kedua yaitu perumusan TIU.
Kerena
itu, setelah memepelajari Bab ini anda diharapkan dapat melakukan dua hal yaitu
menerapkan prosedur mengidentifikasi kebutuhan instruksional dan menulis TIU.
Marilah kita ikuti uraian dan contoh setiap kegiatan di atas.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian dari kebutuhan instruksional:
2. Siapa
yang membutuhkan kebutuhan instruksianal?
3. Bagaimana
langkah-langkah untuk mengidentifikasi kebutuhan intruksional?
4. Bagaimana
cara menulis tujuan intstruksional umum?
C.
Tujuan
Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di
atas, maka dapat diambil tujuan masalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian dari kebutuhan instruksional
2. Untuk
mengetahui siapa yang membutuhkan kebutuhan instruksional
3. Untuk
mengetahui bagaimana langkah-langkah kebutuhan instruksional
4. Untuk
mengetahiu cara menulis tujuan instruksional umum
D.
Manfaat
Penulisan
Hasil penulisan makalah ini
diharapkan memberikan pengertian dan manfaat bagi mahasiswa dan pembacanya. Ada
beberapa manfaat yang dapat kami lampirkan, antara lain:
1. Sebagai
sarana pembelajaran bagi mahasiswa dan pembaca untuk reverensi belajar
2. Memberikan
kemudahan untuk memahami materi pembelajaran karena di ambil dari sumber yang
ada
3. Memperkaya
dan mengembangkan kemampuan dalam kehidupan secara memperluas pengetahuan
mahasiswa dan pembacanya.
BAB II
Pembahasan
A.
Mengidentifikasi
Kebutuhan Instruksional
1.
Pengertian
Kebutuhan Instruksional
Kebutuhan adalah kesenjangan
keadaan saat ini dibandingkan dengan keadaan yang seharusnya. Dengan perkataan
lain, setiap keadaan yang kurang dari yang seharusnya menunjukkan adanya
kebutuhan. Apabila kedua keadaan itu beras atau menimbulkan akibat lebih jauh
sehingga perlu ditempatkan sebagai prioritas untuk diatasi, kebutuhan tersebut
disebut masalah.
Dalam bidang pendidikan misalnya,
keadaan saat ini menunjukkan lambatnya para lulusan menerima ijazah dari
perguruan tinggi tempat mereka kuliah. Setelah diteliti ternyata penyebabnya
adalah tidak adanya petugas khusus yang diberi tanggung jawab menyelesaikan
ijazah tersebut. Dalam keadaan seperti ini masalah yang muncul adalah tidak
adanya tenaga yang diberi tugas untuk mempersiapkan mencetak dan menyerahkan
ijazah kepada lulusan. Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan pengadaan
tenaga khusus untuk tugas tersebut. Tenaga ini mungkin diambilkan dari unit
lain atau direktur baru.
Suatu contoh lain, buruknya hasil
dari cetakan majalah yang dikeluarkan suatu lembaga pendidikan,
sehinggmenyebabkan munculnya protes dari pembacanya. Setelah diteliti ternyata
hal tersebut disebabkan mesin yang tidak berfungsi dengan normal. Untuk itu
diperlukan perbaikan atau penggantian beberapa bagian dari mesin itu.
Kedua contoh sederhana diatas tidak
berhubungan langsung dengan system instruksional. Keduanya bukan kebutuhan
insternasional. Memang tidak semua kebutuhan dan masalah dapat disebut sebagai kebutuhan instruksional
karna belum tentu memerlukan penyelesaian dengan melaksanakan kegiatan
instruksional.
Sering kali orang
mempercampuradukkan kebutuhan (needs)
dengan kegiatan (wants). Kebutuhan adalah kesenjangan antara keadaan sekarang
dengan yang seharusnya. Kebutuhan yang menjadi prioritas untuk dipecahkan
adalah masalah. Sehingga dapat dikatakan kalau orang menyebut kebutuhan.
Pikiran kita mengkaitkannya dengan masalah. Sedangkan keinginan atau cita-cita
(desire) terkait dengan pemecahan terhadap suatu masalah.
Karena itu Kaufman (1982) mengajak
kita untuk menghentikan kebiasaan melompat ke pemecahan masalah (keingingan)
sebelum kita yakin apa masalah yang kita hadapi. Bila dapat menghentikan
kebiasaan yang keliru itu kita akan menghemat biaya, waktu dan sumber daya manusia.
Proses identifikasi kebutuhan yang
dimulai dari mengidentifikasi kesenjangan antara keadaan sekarang dengan
keadaan yang dihadapkan sekaligus dilanjutkan sampai kepada proses pelaksanaan
pemecahan masalah dan evaluasi terhadap efektifitas dan efesiensinya. Hal ini
dapat dipahami karena para ahli dalam bidang ini membahas proses penilaian
kebutuhan (need assessment) secara tersendiri. Bila mereka tidak mengaitkannya
dengan proses selanjutnya, yaitu pelaksanaan pemecahan masalah dan evaluasinya.
Proses menilai kebutuhan itu akan kehilangan makna.
Tetapi lain halnya yang dibahas
dalam buku ini. Proses tersebut ditempatkan sebagai bagian pemulaan dari proses
pengembangan. Sedangkan dari proses pengembangan sendiri adalah bagian pemulaan
dari siklus kegiatan instruksional yang masih harus diikuti dengan pelaksanaan
dan evaluasi instruksional. Karena itu,dalam bab ini mengidentifikasi kebutuhan
instruksional itu hanya sampai pada perumusan pengetahuan, ketrampilan dan
sikap yang perludiajarkan kepada siswa. Selanjutnya, hasil tersebut dijadikan
dasar perumusan TIU.
2.
Kebutuhan
siapa?
Dari hasil evaluasi pada akhir
suatu pelajaran siswa berpendapat bahwa apa yang diperoleh dalam pembelajaran
itu kurang berguna bagi mereka. Di samping itu, penyajiannya tidak menarik
serta sulit dipahami. Mereka berpendapat bahwa sebagianisi mata pelajaran itu
kurang relevan. Disamping itu, tesnya kurang tersusun dengan baik. Mkasalahnya
adalah kurang baiknya kualitassistem instruksional untuk mata pelajaran
tersebut. Untuk mengatasi masalah ini mata pelajaran itu harus didesain
kembali.
Dari contoh diatas dapat dilihat pendapat
dari pihak siswa dan mengajar tentang kesenjangan kualitas instruksional dalam
suatu mata pelajaran. Keduanya kebetulan satu pendapat. Tetapi, dalam kasus
yang lain pendapat kedua pihak tersebut mungkin berbeda.
Siapa sebenarnya yang menentukan
ada tidaknya kebutuhan instruksional? Apakah pendidik termasuk di dalamnya
pengajar dan pengelola program pendidikan, orang tua atau masyarakat?
Kaufman dan English (1979)
menjawab: ‘mereka semua’. Bagaimana
dengan siswa? Apakah siswa tidak perlu didengar apa masalah atau kebutuhan yang
dihadapinya? Dick dan Carey (1985) mengutip Rossett (1982) yang mengatakan
keharusan melibatkan siswa dalam proses mengidentifikasi kebutuhan. Siswa yang
dilibatkan dalam mengidentifikasikan masalah ini haruslah siswa yang sudah
matang terutama siswa yang sudah bekerja agar dapat memberikan gambaran masalah
yang relevan dengan pekerjaannyasehari-hari. Dengan demikian, dapat diharapkan
bahwa pelajaran yang diterimanyasesuai dengan kebutuhannya.
Jadi, ada tiga kelompok yang dapat
dijadikan sumber informasi dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional,
yaitu:
a. Siswa
(tterutama siswa yang sudah bekerja)
b. Masyarakat
(termasuk orang tua dan orang tua yang akan menggunakan lulusan)
c. Pendidik
(termasuk pengajar dan pengelola program pendidikan.
|
Harles (1975) melukiskan ketiga pihak tersebut dalam bentuk segitiga sebagai berikut
pendidik
|
Masyarakat yang akan dilayani
|
siswa
|
Kemampuan
yang ingin dicapai (tujuan)
|
Secara
umum informasi yang akan dicari dalam proses mengidentifikasi kebutuhan
instruksional adalah kompetensi siswa saat ini dan kopetensi siswa yang
seharusnya dikuasai agar ia atau mereka dapat dilaksanakan pekerjaan atau
tugasnya dengan baik.
Bagi
seorang pengembang instruksional informasi yang bermanfaat adalah informasi
tentang kurangnya prestasi siswa yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
atau ketrampilan siswa, bukan yang disebabkan oleh kekurangan perataan kerja.
Sikap atasan atau lingkungan kerja lainnya.
Hanya masalah yang disebabkan kurangnya siswa dalam mendapatkan
kesempatan pendidikan atau training
yang dapat diatasi dengan kegiatan instruksional.
Sering
kali pengembangan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa setiap indicator
yang menunjukkan rendahnya prestasi siswa atau pegawai harus diselesaikan
dengan pemberian pelajaran atau latihan. Seharusnya pengembangan instrusional
melakukan satu langkah tambahan yaitu mencari factor penyebab kekurangmampuan
siswa sebelum menentukan cara membantunya dalam mencapai kemampuan yang
diharapkan. Siswa yang mempunyai kemampuan rendah mungkin disebabkan oleh
berbagai hal seperti suasana hidup dirumah bersama keluarga, peralatan belajar,
atau biaya. Dalam situasi seperti itu biarpun ia diberi pelajaran atau latihan
berulang kali, hasinya tidak akan menggembirakan karena pemberian pelajaran
atau pelatihan bukanlah pemecahan masalah yang tepat.
Untuk
menghindari kesalahan dalam memutuskan cara memecahkan masalah, berikut ini
disampaikan langkah-langkah yang sistematik dalam menentukan kebituhan
instruksional.
3.
Langkah-Langkah
Mengidentifikasi Kebutuhan Instruksional
Mengidentifikasi kebutuhan instruksional adan suatu
proses untuk:
a. menentukan
kesenjangan penampilan siswa yang disebabkan kekurangan kesempatan mendapatkan
latihan pada masa lalu
b.
Mengidentifikasi bentuk
latihan atau kegiatan instruksional yang paling tepat
c.
Menentukan populasi
sasaran yang dapat mengikuti kegiatan instruksional tersebut.
Langkah 1
Mengidentifikasi kesenjangan hasil produk atau prestasi siswa
atau karyawan saat ini dengan hasil yang seharusnya,berarti menjelaskan
perbedaan antara hasil atau produksi kerja saat ini dengan yang diharapkan. untuk
mendapatkan kedua jenis data ini pengembang instrusional dapat membaca dari
laporan tertulis (bila ada),observasi,interviu,kuesione,atau data dari dokumen
lain yang dapat dipercaya yang terdapat disekolah atau tempat kerja siswa atau
karyawan. Data tersebut harus menyangkut hasil produk atau prestasi, bukan
proses belajar siswa atau proses kerja karyawan.
Langkah
2
Mengetahui
hasil kesenjangan hasil seperti yang di kemukakan dalam langkah 1 di atas
tidaklah cukup untuk mengambil suatu
tindakan memecahkan masalah. pengembang instruksional harus menilai kesenjangan
tersebut dari segi:
a. Tingkat
signifikasi pengaruhnya
b.
Luas ruang lingkupnya
c.
Pentingnya peranan
kesenjangan tersebut terhadap masa depan lembaga atau program.
Menilai
segnifikasi pengaruh suatu kesenjangan tersebut untuk diatasi, merupakan hal
yang relatif. Pengembangan instruksional harus mampu menyajikan nilai kerugian
yang ditimbulkan kesenjangan tersebut dalam bentuk: uang, waktu, pemborosan
bahan, penyusutan produksi kerja, penyusutan kualitas kerja, bahaya yang
ditimbulkandan factor-faktor yang tidak dapat dihitung dalam bentuk biaya,
seperti menurunya rasa aman, berkurangnya kerja sama, dan merosotnya motivasi.
Mager
dan Pipe (1984) memberi contoh sederhana cara menghitung nilai kesenjangan
dalam bentuk uang.
Seorang
pengawas (supervisor) mengeluh tentang bahan yang harus dikerjakan kembali oleh
12 pengetiknya. Kurang lebih 12% dari waktu kerja digunakan mengerjakan kembali
kesalahan-kesalahan dalam mengetiknya. Bila kesenjangan ini dihitung dengan
uang, dalam waktu satu tahun akan menjadi $ 72.000 atau sekitar Rp 125.000.000,00.
Angka ini diperoleh dari hitungan sebagai berikut:
Upah rata-rata per jam $ 12
Mereka bekerja 5 hari (seminggu)= 48 minggu
(setahun)
Jadi,
48 (minggu) x 5 (hari) x 2 (jam) x 12 (orang) x $12 (upah per jam) = $ 72.00.
Bila
kensenjangan tersebut dianggap tidak menjadi prioritas yang harus diatasi, maka
kesenjangan tersebut tidak dianggap sebagai masalah yang harus diatasi. Tetapi,
bila tidak ada kesenjangan yang lain kecuali kesenjangan tersebut maka,
kesenjangan mempunyai pengaruh yang berarti. Kesenjangan tersebut pempunyai
ruang lingkup luas, dan penting. Maka perlu di teruskan ke langka 3
Langkah 3
a. Menganalis
kemungkinan penyebab kesenjangan melalui pelaksanaan observasi ,interviu,dan
analisis logis
b.
Memisahkan kemungkinan
penyebab yang tidak berasal dari kekurangan pengetahuan ,ketrampilan dan sikap
untuk diserahkan penyelesaiannya pada pihak lain
c.
mengelompokan
kemungkinan penyebab yang berasal dari kekurangan pengetahuan,keterampilan dan
sikap tertentu untuk diteruskan ke langkah 4.
Langkah 4
Menginterviu
siswa atau karyawan yang bersangkutan untuk memisahkan antara yang sudah pernah
dan yang belum pernah memperoleh pendidikan atau latihan dalam bidang kerjanya.
Siswa yang sudah pernah mendapatkan pendidikan dan latihan meneruskan ke
langkah 5, sedangkan yang tidak pernah mendapatkan pendidikan dan latihan
tersebut meneruskan ke langkah 8.
Langkah
5
Selanjutnya,
mengelompokkan yang sudah pernah mendapatkan pendidikan dan latihan dalam dua
kelompok. Yaitu yang sering dan yang jarang. Kemudian terus ke langkah
berikutnya, yaitu langkah ke 6 dan 7.
Langkah
6
Kelompok
yang telah sering mendapatkan pendidikan dan latihan diberi umpan balik atas
kekurangannya dan diminta mempraktikkannya kembali sampai dapat melakukan
tugasnya seperti yang diharapkan.
Langkah
7
Kelompok yang masih jarang mendapatkan
kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan dalam pengetahuan, ketrampilan atau sikap yang relevan dalam
bidang kerjanya diberi kesempatan mempraktikkan lebih banyak apa yang telah
diperolehnya dari pendidikan atau latihan masa lalu. Supervise dari dekat
diperlukan sampai mereka mencapai hasil kerja yang diharapkan.
Langkah
8
Untuk
kelompok siswa atau karyawan yang belum pernah mempelajari pengetahuan,
ketrampilan dan sikap tersebut, pengembangan instruksional terlebih dahulu
merumuskan tujuan instruksional umum (TIU). Dalam contoh diatas ketrampilan
yang harus masuk dalam TIU tersebut adalah mengetik dengan teknik yang benar
dengan skor minimal tertentu. Bagaimana mengidentifikasi kebutuhan instrusional
untuk program pendidikan yang lain, seperti mata kuliah yang banyak
berorientasi pada kegi akademis-teoretis?
Mengidentifikasi
kebutuhan instruksional adalah kegiatan awal dari kegiatan menentukan tujuan
instruksional umum. Seorang pengajar yang telah atau baru akan mengajarkan mata
pelajaran yang sudah biasa diajarkan di lembaga tempat ia mengajar, seperti di
perguruan tinggi pada umumnya, tidak melakukan proses mengidentifikasi
kebutuhan instruksional seperti yang telah digambarkan di atas karena berbagai
alasan.
Pertama, siswa yang mengikuti mata
pelajaran itu umumnya belum bekerja. Bahkan, mereka belum tentu tahu jenis
pekerjaan yang akan dihadapinya kelak. Walaupun ada yang bekerja saat ini.
Mereka tidak bekerja dalam bidang yang sama.
Kedua, mata pelajaran yang akan
diajarkan telah tertentu, bahkan seringkali telah ditentukan ruang lingkup dan
garis besar isinya oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Ketiga, mata pelajaran itu belum
tentu hanya terkait kepada satu jurusan atau program studi. Tetapi mungkin
bersifat umum seperti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). mata kuliah wajib Fakultas
dan semacamnya. Kadang-kadang mata kuliah seperti itu terkait dengan kebudayaan
dan filsafat Negara.
Dalam
keadaan seperti itu pengembangan instruksional tidak mungkin melakukan
indentifikasi kebutukan instruksional yang berorientasikan kepada pekerjaan
tertentu. Pengajar sineor, pengembang kurikulum, para ahli, pimpinan lembaga
pendidikan yang mewakili kelompok pendidik dan pembimbing lembaga pemerintah
dan perisahaan swasta yang akan menggunakan lulusa dapat dijadikan sumber
pemberian informasi tentangkebutuhan instruksional untuk mata pelajaran
tersebut. Tyler (1949) menggolongkan pengajar yang disebut artistic teachers.
Walaupun tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang tujuan instruksional,
mereka mempunyai intuisi tentang apa
yang dimaksud dengan mengajar yang baik,
apa bahan-bahan pelajaran yang baik, apa isi pelajaran yang sebaiknya diajarkan
dan bagaimana mengembangkan topic-topik yang efektif bagi siswa. Demikian pula
dengan pimpinan lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan dan perusahaan swasta
memperoleh informasi yang berharga bagi pengembangan instruksional dalam
mengidentifikasi kebutuhan instruksional. Kemudian informasi itu dianalisis dan
hasilnya dijadikan dasar untuk merumuskan tujuan instruksional umum dan
komponen berikutnya.
Disamping
itu, sumber lain yang tidak kalah pentingnya adalah rumusan TIU untuk mata
kuliah yang samadi lembaga lain. Bila rumusan TIU tersebut telah ada.
Pengembang instruksional dapat diharapkan mampu menyusun rumusan TIU yang dapat
diterima oleh berbagai pihak yang bersangkutan.
TIU
yang telah dirumuskan atas dasar hasil interviu dengan kelompok pendidik dan
masyarakat yang akan menggunakan lulusan perlu petunjuk kembali kepada pihak
yang diinterviu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:
a.
apakah TIU ini
konsisten dengan tujuan kurukuler, tujuan instruksional dan tujuan pendidikan
secara nasional?
b.
Apakah siswa yang
mengambil mata pelajaran tersebut dapat mencapai pengetahuan, ketrampilan dan
sikap yang tercantum dalam TIU tersebut, apakah kjolompok pendidikan dan
masyarakat yang akan menggunakan lulusan itu telah puas?
c. Apakah
pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang dirumuskan dalam TIU itu penting bagi
kehidupan siswa?
Khusus
pertanyaan nomor 3, pengembang instruksional perlu mengumpulkan datadari
sekelompok siswa yang dapat mewakili populasi sasaran di samping dari kelompok
pendidik dan masyarakat. Usaha
pengembangan instruksional untuk mendapatkan rumusan TIU yang mencerminkan
kebutuhan ketiga pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan tersebut tidaklah
mudah, setidak-tidaknya pengembanginstruksional harus melalui jalan yang
panjang. Usaha seperti ini sangat penting artinya untuk menentukan dapat
tidaknya kualitaslulusan suatu program pendidikan diterima oleh masyarakat dan
pendidik serta dapat memenuhi kebutuhan hiduplulusan itu sendiri.
B.
Menulis Tujuan Instruksional Umum
Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan
intruksional diperoleh jenis pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang tidak
pernah dipelajaari atau belum dilakukan dengan baik oleh siswa. Jenis
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis
besar. Ia merupakan hasil belajar yang dharapkan dikuasai siswa setelah
menyelesaikan program pendidikan. Hasil belajar ini disebut tujuan
instruksioanal. Karena sifatnya yang masih umum, maka disebut tujuan
instruksional umum.
Bloom (1977) membagi tujuan instruksional menjadi
tiga kawasan menurut jenis kemampuannya yang tercantum didalamnya.tujuan yang
mempunyai titik berat kemmpuan berfikir disebut tujuan dalam kawasan kognitif.
Kemampuan mengingat, memahami, menerapkan , menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi sesuatu merupakan jenjang kemampuan dalam kawasan ini. Tujuan yang
mempunyai focus ketrampilam melakukan gerak fisik disebut tujuan dalam kawasan
psikomotorik. Kemampuan meniru melekukan suatu gerak, memanipulasi gerak,
merangkaikan berbagai gerakan, melakukan gerakan dengan tepat dan wajar adalah
bagian dari kawasan psikomotorik. Tujuan yang lain, yang berintikan kemampuan
bersikap disebut tujuan dalam kawasan efektif.
Tujuan
instruksional dalam kawasan manapun harus dirumuskan dalam kalimat dengan kata
kerja dan operasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat.
Kalimat siswa akan dapat menjelaskan atau menguraikan sesuatu lebih tepat
digunakan daripada siswa dapat mengerti, memahami, atau mengetahui.
Perhatikan
contoh dibawah ini:
a.
Siswa akan dapat
menggunakan desain penelitian yang sesuai dengan proyek penelitian yang akan
dilakukannya.
b.Siswa
akan dapat menyusun rencana kegiatan proyek dengan menggunakan PERT (program evaluation and review techniques)
c. Siswa
akan dapat mendemonstrasikan lompat tinggi gaya flop (suatu gaya lompat tinggi yang digunakan kebanyakan juara saat
ini).
Ketiga
contoh instruksional umum (TIU) diatas masing-masing terdiri empat bagian.
Pertama, orang yang belajar. Dalam kalimat-kalimat diatas orang belajar adalah
siswa, bukan pengajar atau bukan orang lain. Tujuan harus berorientasi pada
siswa. Seringkali pengajar atau pengelolah pendidikan yang lain membuat
perumusan yang berorientasi kepada mereka, bukan kepada siswa seperti dua
contoh berikut ini :
a. Tujuan
pembelajaran ini adalah mengajarkan penerapan berbagai desai penelitian
b. Program
ini akan membahas secar mendalam prosedur penyusunan kegiatan proyek
berdasarkan PERT.
Kedua
contoh perumusan tujuan tersebut, diatas tidak memperhatikan apa yang akan
dicapai siswa. Keduanya dapat ditafsirkan bahwa sepanjang pengajar membahas
atau mengajar pelajaran yang dimaksud atau program pengajaran berisi pelajaran
tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun siswa belum dapat melakukan
apa-apa.
Kedua,
istilah yang digunakan adalah “akan dapat” bukan dapat atau sudah dapat karena
tujuan itu dirumuskan sebelum siswa mulai belajar. Tujuan itu akan dicapai
setelah proses belajar. Istilah akan dapat itu dihubungkan dengan kata kerja
yang menunjukkan hasil belajar bukan kata kerja yang berorientasi kepada proses
belajar seprti (siswa) mempelejari, membaca. Tujuan harus berorientasi kepada
hasil belajar, bukan kepada proses belajar. Dengan demikian, bila ada perumusan
yang berbunyi : “ siswa akan mempelajari berbagai desain penelitian atau
membaca prosedur penyusunan rencana kegiatan proyek”, dapat ditafsirkan bahwa
sepanjang siswa telah melakukan proses tersebut, maka tujuan telah tercapai,
walaupun siswa belum berhasil “memahami” apa yang telah dipelajarinya sebagai
suatu tujuan; yang penting bukanlah siswa telah melakukan proses belajar
tertentu, seperti dapat menyusun desain penelitian atau menyusun rencana
kegiatan proyek.
Ketiga,
kata kerja dalam tujuan instruksional haruslah berbentuk kata kerja aktif dan dapat
diamati, seperti menyusun, menggunakan atau mendemonstrasikan. Bandingkanlah
dengan kata kerja memahami, mengetahui, dan merasakan yang tidakdapat diamati
oleh mata. Dick Carey (1985) menggunakan contoh tujuan yang biasa digunakan
oleh banyak bank sebagai berikut: karyawan bank akan mengetahui atau memahami
nilai pelayana yang hormat dan ramah.
Kata
mengetahui atau memahami dapat berarti menjelaskan atau dapat pula berarti
melakukan. Kemampuan menjelaskan dan melakukan sangat besar bedanya. Karena
itu, istilah memahami disebut tidak jelas dan tidak pasti karena berarti
mengandung banyak pengertian, sehingga perlu dihindari.
Keempat,
tujuan instruksional mengandung objek seperti desain
penelitian, rencana kegiatan proyek, dan lompat tinggi.
Bagian
ketiga dan keempat dari tujuan instruksional yang berupa kata kerja dan objek
adalah perilaku (behavior) yang diharapkan dikuasai siswa pada akhir proses
belajarnya. Itulah sebabnya tujuan instruksional sering disebut tujuan yang
bersifat perilaku (behavior objective).
Ia disebut pula tujuan penampilan (performance
objective). Karena akan ditampilkan siswa setelah proses belajar.
Bagian
ketiga dan keempat dari tujuan instruksional ini merupakan bagian yang sangat
penting. Berdasarkan kedua bagian tersebut akan disusun tes dan strategi
instruksional, termasuk metode, media, dan isi pelajaran. Karena itu,
ketidakjelasan perumusan tujuan instruksional akan mengakibatkan ketidakjelasan
dasar penyusuna komponen system instruksional yang lain. Disamping itu,
kegiatan merumuskan tujuan instruksional merupakan salah satu wujud tanggung
jawabseorang pengajar untuk dapat mengatakan atau orang lain menilai apakah ia
berhasil atau belum berhasil mencapai tujuannya.
Tujuan
instruksional, disamping berfungsi sebagai suatu yang akan dicapai, berfungsi
pula sebagai kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional.
Oleh karena itu, seorang pengajar yang merumuskan tujuan instruksionalnya
sebelum proses pengajaran dapat dipandang sebagai pengajar yang bersedia mempertanggungawabkan
keberhasilan atau kegagalan dalam mengajar. Atas dasar criteria itu pula
seorang pengajar dapat menentukan kapan ia harus memperbaikiefektifitas
pengajarannya.
Pada
saat saya mengajarkan peranan tujuan istruksional, seorang mahasiswa berpendapat
bahwa pengajar tidak usah merumuskan tujuan, yang penting ia mengajar dengan
sungguh-sungguh, lalu beri siswanya tes. Ketika aya bertanya,”apa yang akan
pengajar itu teskan?”, ia menjawab,”isi pelajaran seperti desain
penelitian,rencana kegiatan proyek, lompat tinggi”. Saya bertanya lagi, “
perilaku apa yang harus diteskan? Menjelaskan macam-macam desain penelitian,
membaca rencana kegiatan proyek atau menceritakan cara lompat tinggi?”.
Mahasiswa itu menjawab,”mungkin”.”apa bukan mengeteskan bagaimana menggunakan
desain penelitian, menggambar rencana kerja, dan mendemonstrasikan lompat
tinggi?”Saya bertanya lebih jauh. Ia menjawab lagi,”boleh juga”. Kesimpulannya,
apa yang akan diteskan tergantung kepada keinginan pengajar pada saat melakukan
tes.mungkin pengajar itu cukup meminta siswa macam-macam desain penelitian,
menuliskan prosedur perencanaan kegiatan proyek atau menceritakan cara
melakukan lompat tinggi, menruraikan cara mengelas besi, menjelaskan cara
membuat kursi, menjelaskan cara membuat kursi, menuliskan cara mengaduk semen
dan lain-lain.siswa yang berhasil dalam tes atau ujian sep;erti itu akan
merupakan lulusan yang mahirdalam teori. Mungkin pula pengajar yang lain
menganggap semu itu belum cukup, ia menyuruh siswa menyusun desain penelitien,
menyusun kegiatan rencana proyek tertentu, atau melakukan lompat
tinggi,mengelas besi, membuat kursi, mengaduk semen dan lain-lain.siswa yang
berhasil dalam tes ataunujian seperti ini akan merupakan lulusa yang mampu
melakukan dan mempraktikkan sesuatu. Bila anda perhatikan, apa yang akan
diteskan kedua pengajar diatas sangatlah berbeda. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan kata kerja tujuan instruksionalnya, walaupun objeknya sama. Karena
itu, perumusan kata kerja dan objek dalam tujuan instruksional sangatlah
penting.
Pengajaran
tanpa perumusan tujuan instruksional secara jelas akan mempunyai implikasi
tidak menentunya standar mutu mata pelajaran dan mutu lulusan program tersebut.
Tujuan
instruksional umum (TIU) suatu mata pelajaran mungkin lebih dari satu, tetapi
keduanya pasti bgerhubungan dalam hal seperti itu. TIU harus diurut dari
perilaku yang harus atau sebaiknya dikuasai lebih dulu baru dikuasai lebih dulu
baru disusul dengan yang lainnya. Urutan ini akan menjadi petunjuk dalam
menentukan urutan isi pelajaran.
Banyaknya
TIU tergantung pada kompleksitas dan ruang lingkup pengetahuan, ketrampilan dan
sikap yang akan dipelajari siswa dalam mata pelajaran tersebut. Sebagai patokan
umum mungkin sekitar 3-5 buah. Jumlah TIU yang banyak mungkin akan mengakibatkan
sulitnya pengelolahan kegiatan instruksional. Walaupun demikian, tidak ada
patokan yang dapat disetujui oleh semua orang tentang jumlah TIU ini.
Setelah
merumuskan TIU tersebut dengan baik, anda perlu mengajukan pertanyaan yang
sangat penting kepada diri sendiri sebagai berikut:”bila siswa anda telah
mencapai seluruh kemampuan yang telah anda rumuskan dalam TIU, apakah anda
sudah merasa puas?” karena anda yakin bahwa siswa anda tidak akan mendapat
kesulitan dalam melaksanakan pekerjaan atau tugasnya kelak yang berhubungan
dengan pelajaran yang telah anda berikan? Bila anda menjawab ya, berarti TIU
itu telah dapat anda gunakan sebagai dasar pengembangan instruksional lebih
lanjut. Bila anda menjawab belum, berarti TIU itu harus direvisi terlebih dahulu.
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
pengembangan
instruksional, yaitu mengidentifikasi kebutuhan instruksional dan penulisan
tujuan instruksional umum (TIU).
Langka
ini adalah titik tolak dan sumber bagi langkah-langkah berikutnya. Karena itu,
kebingungan yang terjadi dalam langka permulaan ini akan menyebabkan seluruh
kegiatan pengembangan instruksional kehilangan arah. Langkah ini merupakan
rangkaian dari dua kegiatan yang dijadikan satu karena keduanya sangat
berkaitan. Hasil kegiatan pertama yaitu
mengidentifikasi kebutuhan instrusional.
Tujuan
instruksional, disamping berfungsi sebagai suatu yang akan dicapai, berfungsi
pula sebagai kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional.
DAFTAR PUSKATA
Suparman,atwi.1991.desain
instruksional: mengidentifikasi kebutuhan
instruksional dan menulis tujuan instruksional umum.Jakarta:bank dunia XVII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar