BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam melakukan proses instruksional tidak sedikit
pengajar melompat ke proses penulisan TIK, tes, bahkan sampai isi pembelajaran,
tanpa melalui analisis instruksional. Akibatnya, kegiatan instruksional tidak
sistematik karena logika kaitan antara TIU dan TIK, tes, dan isi tidak dapat
ditelususri. Suatu sistem terdiri dari berbagai komponen yan fungsinya secara
logis saling berkaitan sehingga bila terjadi ketidakoptimalan fungsi salah satu
komponennya dapat terdeteksi dan teridentifikasi.
Beberapa implikasi dari proses desain instruksional
yang melompat seperti itu antara lain :
1.
Daftar
TIK yang disusun kemudian didasarkan pada isi. Prosedur ini terbalik sehingga
tidak konsisten dengan TIU-nya. Daftar TIK tersebut mungkin tidak lengkap atau
berlebihan. Di samping itu, subkompetensi dan kemampuan (atau kompetensi dasar)
belum tentu mengacu kepada kompetensi yang terdapat dalam TIU.
2.
Materi
tes tidak rinci karena hanya meliputi kompetensi yang bersifat umum. Kemajuan
peserta didik di tengah proses belajar tidak dapat diukur dengan teliti sehingga
pengajar tidak dapat memberikan pengajaran remedial yang tepat bagi peserta
didik yang sebenarnya masih ketinggalan dari peserta didik yang telah dahulu
maju.
3.
Urutan
isi kurang sistematik
4.
Titik
berangkat kegiatan instruksional tidak sesuai dengan kemampuan awal peserta
didik.
5.
Cara
penyajiannya tidak sesuai dengan karakteristik awal peserta didik.
Dari beberapa implikasi tersebutlah dalam menulis
sebuah TIK, pendesain instruksional perlu melakukan analisis instruksional.
Hasil analisis instruksional ini dikaitkan dengan hasil kegiatan
mengidentifikasi kompetensi dan karakteristik awal peserta didik. Atas dasar
keduanya, penngembang instruksional dapat menyususn daftar TIK yang relevan
dengan TIU.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan analisis instruksional?
2.
Apa
tujuan dari analisis instruksional?
3.
Bagaimana
struktur penjabaran kompetensi umum menjadi subkompetensi dann kompetensi dasar
?
4.
Langkah-langkah
apa saja yang diperlukan untuk melakukan analisis instruksional?
5.
Apa
hasil akhir dari analisis instruksional?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui definisi dari analisis instruksional
2.
Mengetahui
tujuan melakukan analisis instruksional
3.
Mengerti
proses penjabaran kompetensi umum menjadi subkompetensi dan kompetensi dasar.
4.
Mampu
melakukan analisis instruksional dengan benar
5.
Mampu
menghasilkan tujuan instruksional khusus
D. Manfaat
Penullisan
Ketrampilan
melakukan analisis instruksional sangat penting, artinya karena subkompetensi,
kemampuan dan penngetahuan, ketrampilan, dan sikap yang harus dicapai lebih
dahulu dari yang lain dapat ditentukan dari hasil analisis tersebut.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Analisis Instruksional
Menurut Dick dan Carey (2005) analisis instruksional adalah sebagai tahapan
proses yang merupakan keseluruhan dari pemaparan bagaimana perancang (desainer)
menentukan komponen utama dari tujuan instruksional melalui kegunaan analisis
tujuan (goal analysis), dan bagaimana
setiap langkah dalam tujuan tersebut dapat dianalisis untuk mengidentifikasi
keterampilan subordinate atau keterampilan prasyarat.
Analisis
instruksional adalah suatu alat yang dipakai oleh para penyusun disain
instruksional atau guru untuk membantu peserta didik di dalam mengidentifikasi setiap tugas pokok yang harus
dikuasai/dilaksanaan oleh siswa dan sub tugas atau tugas dasar yang membantu
siswa dalam menyelesaikan tugas pokok (Esseff, P.J.)
Suparman
(1997) mengartikan analisis instruksional sebagai proses yang menjabarkan
perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logis dan
sistematis. Kegiatan penjabaran tersebut dimaksudkan untuk mengidentifikasi
perilaku-perilaku khusus yang dapat menggambarkan perilaku umum secara
terperinci. Yang dimaksud perilaku khusus tersusun secara logis dan sistematis
adalah tahapan apa yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu ditinjau dari berbagai alasan. seperti karena kedudukannya sebagai perilaku prasyarat, prilaku yang
menurut urutan fisik berlangsung lebih dahulu, perilaku yang menurut proses
psikologi muncul lebih dahulu atau kronologis terjadi lebih awal.
Jadi
analisis instruksional adalah proses menjabarkan kopetensi umum menjadi
subkompetensi, kompetensi dasar atau kopetensi khusus yang tersusun secara
logis dan sistematik.
Hasil
analisis instruksional adalah peta subkompetensi yang menunjukkan susunan
subkompetensi yang paling dasar sampai kompetensi yang paling tinggi seperti
yang dirumuskan dalam tujuan instruksional umum.
Untuk
melakukan penyusunan seluruh subkompetensi atau kompetensi dasar tersebut dengan
benar pendesain instruksional perlu memahami empat macam struktur kompetensi
yang akan dikemukakan pada subbab di bawah
ini.
B.
Empat Macam Struktur Perilaku
Bila
kompetensi umum diuraikan menjadi subkompetensi, kompetensi dasar atau
kompetensi khusus akan terdapat empat macam susunan, yaitu hararkis
(hieararchical), prosedural (procedural), pengelompokan (cluster), dan
kombinasi (combination).
1.
Struktur Hirarkis
Struktur kompetensi yang hirarkis adalah kedudukan
dua kompetensi yang menunjukkan bahwa salah satu kompetensi hanya dapat
dilakukan bila telah dikuasia kompetensi yang lain.
Kompetensi B, misalnya dipelajari jika telah melakukan
kompetensi A. Kedudukan A dan B disebut hirarkis.
a. Kedudukan
kompetensi “menerapakan Statistik Lanjut” dan “menerapkan Statistik Dasar”.
Menerapakan Statistik Lanjut seperti Regresi Ganda dan Analisis Variansi tidak
mungkin dipelajari peserta didik bila ia belum mampu menerapkan Statistik Dasar
seperti menghitung Skor Rata-rata, Devisi Standar, dan Korelasi Sederhana.
Kedua
kompetensi tersebut tersusun secara hirarkis. Menerapkan Statistik Dasar
merupakan prasyarat untuk dapat menerapkan Statistika lanjutan.
b. Kedudukan
kompetensi “mengukur luas sebidang tanah tertentu” terhadap kompetensi
“mengukur panjang benda”. Kompetensi mengukur luas sebidang tanah yang
terbentang dibelakang rumah misalnya, tidak akan dapat dilakukan bila belum
dikuasai cara mengukur panjang benda, walaupun rumus menghitung luas benda
telah dikuasai.
Mengukur
panjang benda merupakan prasyarat untuk mengukur luas tanah. Keduanya
terstruktur secara hirarkis.
c. Kedudukan
kompetensi “mengambil keputusan” terhadap kompetensi “menganalisis alternatif
pemecahan masalah”. Kompetensi mengambil keputusan untuk memecahkan masalah
tertentu hanya dapat dilakukan bila cara melakukan alnalisis melakukan analisis
alternatif telah dikuasai, yaitu teknik membandingkan berbagai alternatif
pemecahan masalah dari berbagai segi, seperti segi efisiensi dan efektivitas.
2.
Stuktur Prosedural
Struktur kompetensi prosedural adalah kedudukan
beberapa kompetensi yang menunjukkan satu seri atau aturan kompetensi, tetap
untuk mempelajarinya tidak ada yang menjadi prasyarat bagi yang lain. Walaupun
kedua kompetensi khusus itu harus dilakukan berurutan, untuk dapat melakukannya
suatu kompetensi umum setiap kompetensi itu dapat dipelajari secara terpisah.
Berikut ini terdapat contoh kompetensi yang terstruktur
secara prosedural.
a. Dalam
melakukan kompetensi umum “lari cepat” terdapat sedikitnya tiga subkompetensi
yang terstuktur secara prosedural
Agar dikatakan dapat melakukan
kompetensi “lari cepat” dengan baik, ketiga subkompetensi tersebut harus
dilakukan secara berurutan. Namun, setiap subkompetensi itu dapat dipelajari
secara terpisah. Tidak ada kompetensi yang menjadi prasyarat untuk menjadi
prasyarat untuk mempelajari kompetensi yang lain. Ketiga kompetensi tersebut
diatas merupakan suatu seri gerakan yang ditampilkan secara berurutan oleh
seorang pelari cepat, namun tidak tersusun secara hirarkis. Susunan ketiganya
disebut prosedural.
b. Dalam
menggunakan laptop untuk menampilkan bahan powerpoint, sedikitnya ada tiga
kompetensi yang tersruktur secara prosedural.
Ketiga kompetensi tersebut
dilakukan secara berurutan, namun dapat dipelajari secara terpisah. Namun, di
dalam kegiatan keseluruhan ketiga kompetensi tersebut muncul secara berurutan
sebagai suatu seri kompetensi.
c. Dalam
mengetik dengan mengguanakan laptop, sedikitnya ada empat kompetensi yang
terstuktur secara prosedural
Kompetensi-kompetensi yang tersusun secara prosedural
dilukiskan kotak-kotak yang berderat kesamping dan dihubungkan dengan garis
horizontal. Dengan demikian, bila kompetensi-kompetensi tersebut dilukiskan
dalam suatu bagan akan mudah dibedakan dari kompetensi-kompetensi yang tersusun
secara hirarkis yang tampak dihubungkan dengan garis vertikal.
3.
Struktur Pengelompokan
Disamping daftar kompetensi yang dapat diurut sebagai
hirarkis dan procedural, terdapat struktur pengelompokan. Struktur ini
menunjukan satu rumpun kompetensi yang tidak mempunnyai ketergantungan urutann
antara satu dan yang lain, walaupun semuanya berhubungan. Dalam keadaan seperti
itu, garis penghubung antara kompetensi yang satu dan yang lain tidak
diperlukan.
a.
Aceh
b.
Riau
c.
Sumatra
Utara
d.
Sumatra
Barat
e.
Jambi
f.
Sumatra
Selatan
g.
Bengkulu
h.
Lampung
Menunnjukkan batas provinsi yang satu dan provinsi
yang lain tidak terkait secara hirarkis, tidak pula secara procedural.
Seseorang dapat mulai dari menunjukkan batas provinsi Lampung sampai Aceh atau
sebaliknya, bahkan dapat pula mulai dari provinsi di bagian tengah ke selatan
kemudian ke utara. Bila digambarkan dalam bagan, kedudukan
kompetensi-kompetensi tersebut tampak sebagai berikut :
Contoh lain dari kompetensi pengelompokan dapat Anda
jumpai dalam menilai keberhasilan dan kegagalan perang melawan penjanjah
menjelang kemerdekaan, hubungan fungsi organ tubuh manusia, dan membedakan
ruang lingkup berbagai jurusan dalam suatu fakultas.
4.
Struktur Kombinasi
Sruktur kombinasi adalah gabungan dari dua
atau tiga struktur kompetensi. Suatu kompetensi umum bila diuraikan menjadi
subkompetensi dapat terstruktur secara kombinasi dari struktur hirarkis,
procedural, dan pengelompokan.
Kompetensi umum melakukan lari cepat dapat
diuraikan menjadi beberapa subkompetensi sebagai berikut.
Kompetensi umum melakukan lari cepat
terbentk dengan cara merangkaikan tiga subkompetensi yaitu start, lari, dan
melintasi garis finish. Kompetensi merangkaikan ketiga kompetensi khusus
tersebut hanya dapat dilakukan bila satu persatu dari ketiga kompetensi
tersebut telah dikuasai. Dengan demikian, merangkai start, lari, dan melintasi
garis finishmembutuhkan prasyarat melakukan setiap gerakan tersebut satu per
satu. Mana yang lebih dahulu harus dilakukan di antara ketiga gerakan tersebut?
Terserah pendisain instruksional. karena itu kedudukan ketiga gerakan tersebut
antara satu dengan yang lain terstruktur secara procedural. Mengapa? Karena
merangkaikan ketiganya pasti dimulaidari start, dilanjutkan dengan lari,dan
diakhiri dengan melintasi garis finish. Kompetensi “melakukan start “
mensyaratkan kemampuan menjelaskan teknik start. Demikian pula, kompetensi
“lari” mensyaratkan kompetensi menjelaskan teknik lari. Sedangkan kompetensi
“melintasi garis finish” mensyaratkan kemampuan menjeaskan teknik melintasi
garis finish. Bagan di atas menunjukkan struktur kombinasi antara procedural
dan hirarkis.
Untuk menjabarkan kompetensi umum menjadi
subkompetensi dalam kawasan kognitif, psikomotor, dan afektif terlebih dahulu
perlu diberikan definisi tentang ketiga kawasan tersebut.
a.
Kompetensi kawasan kognitif
Kompetensi kawasan kognitif adalah kompetensi yang
merupakan dari proses berpikir. Dalam bahasa sederhananya adalah kompetensi
hasil kerja otak.
·
Bloom (1956)
Membagi kawasan kognitif menjadi enam
tingkatan :
-
Pengetahuan
-
Pemahaman
-
Penerapan
-
Analisis
-
Sintesis
-
Evaluasi
Contoh : menyebutkan definisi makhluk
hidup, membedakan fungsimeja dan kursi, menceritakan kembali isi dongeng
·
Gagne (1979)
Membagi kemampuan manusia menjadi tiga macam
;
ketrampilan intelektual àketrampilan teknis dalam
ilmu
pengetahuan
ketrampilan strategi kognitif àketrampilan dalam mencari
pemecahan
masalah
ketrampilan informasi verbal àketrampilan
mengungkapkan
kembali
pengetahuan
verbal yang
telah
dimiliki
b.
Kompetensi kawasan psikomotor
Kompetensi kawasan psikomotor adalah kompetensi yang
dimunculkan oeh hasil kerja fungsi tubuh manusia. Jadi berbentuk gerakan tubuh.
Contohnya adalah berlari, melompat, melempar berputar, memukul, dan menendang.
Dave (1967) membagi kompetensi kawasan psikomotor dalam lima jenjang kompetensi
khusus, yaitu :
·
Menirukan gerak
·
Memanipulasi kata – kata menjadi gerak
·
Melakukan gerak dengan tepat
·
Merangkaikan berbagai gerak
·
Melakukan gerak dengan gerak wajar dan efisien
c.
Kompetensi kawasan afektif
Kompetensi kawasan afektif adalah kompetensi yang
dimunculkan seseorang sebagai pertanda kecenderungannya membuat pilihan atau
keputusan untuk beraksi dalam lingkungan tertentu.
Contoh : menganggukkan kepala ditafsirkan sebagai
tanda setuju, meloncat dengan muka berseri-seri sebagai tanda kegirangan, dan
pergi beribadah sebagai tanda beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bloom dan Mansia (1964) membagi kawasan ini menjadi
lima tingkatan kemampuan, yaitu :
·
Menerima nilai
·
Membuat respon terhadap nilai
·
Menhargai nilai-nilai yang ada
·
Mengorganisasikan nilai, dan
·
Mengamalkan nilai secara konsisten (internalisasi nilai)
Untuk menafsirkan sikap orang lain dapat dilihat dari
perilakunya atau gejala yang dtimbulkannya. Penafsiran seperi ini sangat sulit.
Kunci utamanya terletak pada bagaimana menafsirkan perilaku tertentu sebagai
sikap tertentu.
Tabel.B.1 Penafsirkan
kemampuan seseorang
Kapabilitas
|
Cara
Penafsiran
|
Kemungkinan
yang Terjadi
|
Kawasan
kognitif
|
Dilihat dari hasil jawaban tes
|
Hasil
tidak murni pekerjaan sendiri
|
Kawasan
psikomotor
|
Hasil gerakan
|
Melihat
teman/ berpura-pura
|
Kawasan
afektif
|
Dilihat dari perilaku atau sikap
|
Berpura-pura
|
Jadi kunci dari dapat atau tidaknya
kompetens itu dijadikan alat untuk menafsirkan kemampuan orang, baik dalam
kawasan kognitif, psikomotor, maupun afektif itu terletak pada cara atau metode
dan instrumen yang digunakan untuk memunculkan kompetensi tersebut, bukan
tergantung pada jenis kawasan kompetensi tersebut.
Cara menjabarkan kompetensi umum menjadi
subkompetensi dalam kawasan afektif pada dasarnya tidak berbeda dengan kawasan
kognitif dan psikomotor. Setelah diketahui kompetensi umum yang terdapat dalam
tujuan instruksional umu, pengembang instruksional selanjutnya mencari jawaban
atas pertanyaann sebgai berikut :“Subkompetensi apa saja yang mengacu pada
munculnya kompetensi umum tersebut?” Untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan
tersebut, pengembang instruksional melakukan analisis instrusional dengan
langkah-langkah yang tercantum dalam subbab berikut ini.
C.
Langkah-Langkah
Melakukan Analisis Instruksional
Berikut
ini adalah langkah-langkah untuk digunakan dalam melakukan analisis
instruksional
1. Menulis
perilaku umum yang telah anda tulis dalam Tujuan Instruksional Umum (TIU) untuk
mata pelajaran yang sedang anda kembangkan.
2. Menulis
perilaku khusus yang menurut anda menjadi bagian dari perilaku umum tersebut.
Jumlah perilaku khusus untuk setiap perilaku umum berkisar antara 5-10 buah.
Bila sangat diperlukan anda masih mungkin menambahnya lebih banyak.
3. Menyusun
perilaku khusus tersebut ke dalam suatu daftar dalam urutan yang logis dimulai
dari perilaku umum, perilaku khusus yang paling “dekat” hubungannya dengan
perilaku umum diteruskan “mundur” sampai perilaku yang paling jauh dari
perilaku umum.
4. Menambah
perilaku khusus tersebut atau mengurangi jika perlu. Tanamkan dalam pikiran
anda, bahwa anda harus berusaha melengkapi daftar perilaku khusus itu.
5. Menulis
setiap perilaku khusus tersebut dalam suatu lembar kartu atau kertas ukuran 3 x
5 cm.
6. Menyusun
kartu tersebut di atas meja atau lantai dengan menempatkannya dalam struktur
hirarkikal, prosedural atau pengelompokan, menurut kedudukan masing-masing
terhadap kartu yang lain. Letakkan kartu-kartu tersebut sejajar atau horisontal
untuk perilaku-perilaku yang mempunyai struktur prosedural dan pengelompokan
serta letakkan secara vertikal untuk perilaku-perilaku yang hierarkikal. Dalam
proses ini anda seolah-olah sedang bermain kartu dengan cara mencocokkan letak
suatu kartu diantara kartu yang lain. Hal itu akan mengasyikkan, mungkin bisa
memakan waktu berjam-jam.
7. Jika
perlu, tambahkan dengan perilaku khusus lain yang dianggap perlu atau kurangi
bila dianggap lebih. Sampau batas ini, anda harus yakin betul bahwa tidak ada
perilaku khusus yang masih ketinggalan atau kelebihan, serta susunannya menurut
struktur hierarkikal, prosedural, pengelompokan, atau kombinasi.
8. Menggambar
letak perilaku-perilaku tersebut dalam bentuk kotak-kotak di atas kertas lebar
sesuai dengan letak kartu yang telah anda susun. Hubungkan kotak-kotak yang
telah anda gambar tersebut dengan garis-garis vertikal dan horisontal untuk
menyatakan hubungannya yang hierarkikal, prosedural, atau pengelompokan.
9. Meneliti
kemungkinan menghubungkan perilaku umum yang satu dan yang lain atau perilaku-perilaku
khususs yang berada di bawah perilaku umum yang berbeda.
10. Memberi
nomor urut pada setiap perilaku khusus yang dimulai dari yang terjauh sampai ke
yang terdekat dengan perilaku umum.
11. Mengkonsultasikan
atau mendiskusikan bagan yang telah anda susun denga teman sejawat untuk
mendapatkan masukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam diskusi tersebut
adalah:
a. Lengkap
tidaknya perilaku khusus sebagai penjabaran dari setiap perilaku umum;
b. Logis
tidaknya urutan dari perilaku-perilaku khusus menuju perilaku umum;
c. Struktur
hubungan perilaku-perilaku khusus tersebut (hierarkikal, prosedural,
pengelompokan, atau kombinasi)
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Langkah
kedua dalam MPI, melakukan analisis instruksional adalah kegiatan menjabarkan
atau memecah kompetensi umum menjadi subkompetensi, kompetensi dasar, atau
kompetensi khusus yang lebih kecil atau spesifik serta mengidentifikasi
hubungan antara kompetensi khusus yang satu dan kompetensi khusus yang lain.
Konsep MPI dalam proses penjabaran kompetensi umum menjadi kompetensi khusus
tidak berorientasi pada suatu taksonomi kompetensi tertentu, seperti taksonomi
yang disusun oleh Gagne atau Bloom.Proses menganalisis instruksional yang
digunakan oleh MPI didasarkan pada berpikkir logis, analitik dann sistematik.
DAFTAR
PUSTAKA
Bloom, Benjamin S.1956.Taxonomy of Education Objective: The Classification of Educational
Goals, Handbook I: Cognitif Domain. New York: Longman Inc.
Dick W., Carey, Lou, and Carey, James O.2009.The Systematic Design of Instructional (7nd
Ed). New Jersey: Pearson.
Suparman, Atwi M. 2012.Desain Instruksional Modern.Jakarta: Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar